Logo Bloomberg Technoz

Selain nilai tukar, bank sentral juga memitigasi risiko dari inflasi yang bisa membuat inflasi dari kegiatan importasi meningkat akibat pelemahan rupiah. BI masih optimistis inflasi tahun ini bergerak di sasaran target di 1,5%-3,5%. 

Meski mengerek bunga acuan yang berarti memperketat perekonomian, BI masih optimistis pertumbuhan ekonomi RI tahun ini masih sesuai proyeksi. Bank sentral tidak merevisi proyeksi pertumbuhan, masih di angka 4,7%-5,5%. Pertumbuhan kredit perbankan pada kuartal 1-2024 juga masih bagus, mencapai 12,4%.

Narasi berubah

Dalam konferensi pers yang berlangsung siang waktu Jakarta itu, nada yang terlontar dari Perry jauh lebih hawkish ketimbang briefing RDG di bulan-bulan sebelumnya. 

Bank sentral tadinya masih menyinggung peluang penurunan BI rate tahun ini dalam RDG-RDG sebelumnya. Namun, dalam kesempatan hari ini, narasi agaknya telah bergesar. Perry tidak menyinggung potensi pelonggaran meskipun sudah ditanyakan oleh jurnalis yang menghadiri acara tersebut. 

Wacana penurunan bunga terlempar jauh dengan kini prediksi penurunan bunga The Fed mundur sampai September. Dalam perkiraan BI, The Fed memiliki peluang di atas 75% memangkas bunga acuan sebesar 25 bps pada kuartal terakhir tahun ini, sepertinya pada Desember.

Namun, ada pula potensi bahwa bunga The Fed mungkin akan tetap di level saat ini sepanjang tahun dengan probabilitas 50% sehingga penurunan bunga acuan AS mungkin baru akan terjadi pada awal 2025.

Hal itu juga yang belum akan membawa rupiah serta merta berbalik meninggalkan zona Rp16.000/US$ meskipun BI rate telah dikerek lagi. Bank Indonesia memprediksi penguatan rupiah kembali ke bawah Rp16.000/US$ baru akan terjadi pada kuartal IV nanti, mengasumsikan ketidakpastian arah bunga global telah mereda.

Pada kuartal II-2024 ini, rupiah diperkirakan masih akan berada di kisaran Rp16.200/US$. Memasuki kuartal III nanti, nilai tukar rupiah diperkirakan akan semakin kuat ke Rp16.000/US$ dan baru beranjak semakin perkasa ke Rp15.800/US$ pada kuartal akhir tahun ini. 

Prediksi yang sangat spesifik itu menurut pandangan analis mencerminkan kesadaran BI tentang siklus musiman kenaikan permintaan dolar AS pada Mei-Juni. "BI menyadari perlunya pasokan valuta asing yang lebih banyak pada bulan Mei-Juni, ketika permintaan dolar akan meningkat untuk repatriasi dividen dan jatuh tempo utang luar negeri," kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Research Analyst Drewya Cinantyan dalam catatan setelah pengumuman BI rate.

Dalam pernyataannya hari ini, Gubernur Perry juga tidak menyinggung apakah kenaikan BI rate ke 6,25% menjadi yang terakhir kali. Sinyal yang dilempar adalah bahwa BI sudah siap mengerahkan semua instrumen yang ia miliki untuk memastikan stabilitas nilai tukar rupiah di mana hal itu menjadi hal positif bagi pelaku pasar.

Pada penutupan pasar hari ini, pasca pengumuman BI rate, rupiah yang telah menguat sejak pembukaan pasar terungkit sentimen global, ditutup menguat ke Rp16.154/US$. Sedangkan kurs JISDOR Bank Indonesia ditutup di Rp16.161/US$, menguat 83 poin. 

Pertumbuhan ekonomi anjlok

Meski BI masih mempertahankan optimisme bahwa ekonomi Indonesia tahun ini berpeluang tumbuh ke 5,5%, pengetatan moneter lebih lanjut ketika pertumbuhan ekonomi sudah melambat akibat konsumsi rumah tangga yang lesu, akan tetap membawa dampak bagi pertumbuhan ekonomi pada tahun terakhir era Presiden Joko Widodo.

Dengan nilai cadangan devisa yang masih memadai, setara 6,2 bulan impor atau 6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri, beberapa ekonom menilai BI rate sebenarnya tidak perlu naik. Efek kenaikan BI rate akan besar pada perekonomian yang mungkin tidak setangguh perkiraan.

"Kami percaya, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun ke 4,8% dari 5,05% pada 2023 karena pelemahan konsumsi dan investasi, sedang kenaikan ekspor sepertinya akan terhenti," kata Miguel Chanco, ekonom dari Pantheon Macroeconomics, seperti dilansir Bloomberg News.

Sebaliknya, menurut Bahana Sekuritas, dampak kenaikan BI rate ke sektor riil sebenarnya tidak sebesar yang dibayangkan. "Ekonomi Indonesia lebih didorong oleh fiskal, bukan moneter. Kenaikan BI rate 25-50 bps mungkin belum tentu diikuti oleh penurunan pertumbuhan kredit," kata Satria.

Sebagai contoh, bank swasta terbesar di Indonesia yaitu PT Bank Central Asia Tbk masih mencatat pertumbuhan kredit hingga 17% secara tahunan pada kuartal 1-2024, melampaui target awal yang hanya 10%. "Kami memprediksi pertumbuhan kredit yang kuat ini masih akan berlanjut di tahun 2024 ini terlepas dari kenaikan BI rate," kata Satria yang memprediksi akan ada kenaikan BI rate lebih lanjut ke depan hingga ke level 6,5%.

Perbankan saat ini memang masih mencatat Loan to Deposit Ratio tidak terlalu tinggi, masih di bawah 90%. Dana perbankan yang diparkir di SBN masih sangat besar mencapai Rp1.363,25 triliun per 23 April. Selama kuartal 1-2024, kepemilikan SBN sudah berkurang hampir Rp100 triliun.

Selama April penurunannya mencapai Rp56,05 triliun. Jadi, meski dana pihak ketiga (DPK) perbankan hanya tumbuh 7,4% pada kuartal 1, perbankan masih memiliki cukup likuiditas untuk menggenjot kredit. Ini yang menjawab mengapa kredit perbankan pada periode yang sama masih mampu tumbuh double digit.

(rui)

No more pages