Logo Bloomberg Technoz

"Kenaikan tarif PPN jadi 12% itu bila diakumulasi dalam 4 tahun terakhir, sebenarnya kenaikannya mencapai 20%, bukan 2%. Dari [tarif PPN] 10% ke 11% lalu menjadi 12%, total kenaikan mencapai 20%. Ini adalah kenaikan tarif yang sangat tinggi," kata Head of Research Group dan Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudistira, Selasa (12/3/2024).

Masyarakat Indonesia hari ini sudah mengalami tekanan daya beli akibat lonjakan harga beras dan berbagai barang kebutuhan lain. Pengucuran bantuan sosial (bansos) yang telah menghabiskan banyak uang negara sepanjang 2023, mencapai Rp476 triliun, nyatanya baru sebatas menahan kejatuhan daya beli, terutama di kelas ekonomi terbawah.

Namun, bansos dipastikan gagal menciptakan permintaan baru di ekonomi tecermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lesu dan inflasi inti (sebagai indikator permintaan) menyentuh level terendah sejak akhir 2021. Itu tidak terlepas dari ketiadaan stimulus bagi kelas menengah yang menyumbang 43% konsumsi nasional. 

"Kelas menengah sudah dihantam harga beras, suku bunga tinggi, sulitnya cari kerja masih ditambah penyesuaian tarif PPN 12%," kata Bhima.

Efeknya bisa panjang. Belanja masyarakat akan semakin melemah. Penjualan barang sekunder (durable goods) seperti elektronik, kendaraan bermotor, juga penjualan rumah juga bisa semakin melambat.

Kajian yang pernah dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2021 menyoal revisi Rancangan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, memberi gambaran seperti apa efek kenaikan tarif PPN terhadap perekonomian.

RUU itu yang akhirnya diloloskan menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 dan diberlakukan mulai Oktober 2021 memutuskan kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022, kenaikan PPN pertama kali sejak era Orde Baru. Beleid itu juga yang menjadi dasar hukum kebijakan kenaikan PPN lebih lanjut ke 12% selambatnya mulai 1 Januari 2025 nanti.

Kajian INDEF mengasumsikan penerapan single tarif PPN sebesar 12,5%. Dampak kenaikan tarif PPN tidak kecil terhadap perekonomian. Kinerja konsumsi masyarakat bisa tergerus turun hingga 3,32% bila PPN naik ke kisaran tersebut.

Harga barang juga akan semakin mahal karena terbebani PPN, akan mendorong masyarakat mengurangi belanja atau beralih ke merek berkualitas lebih rendah dan lebih murah. Permintaan yang melemah akhirnya menggerus inflasi sebesar 0,84% dan menyeret pertumbuhan ekonomi (PDB) turun sebesar 0,11% menurut kajian yang sama. 

Upah masyarakat juga akan tergerus karena harus menutup lonjakan kenaikan harga barang dan jasa, di mana penurunan upah bisa mencapai 5,86%. Tidak berhenti di situ, "Selain ke konsumsi, dampak kenaikan PPN juga bisa menurunkan ekspor karena barang-barang yang kena kenaikan PPN harganya jadi naik sehingga aktivitas ekspor terpengaruh [karena harga jual jadi mahal]. Pada saat yang sama, importasi barang juga berkurang karena barang impor juga kena PPN," kata Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF.

Kenaikan PPN akan menjadi pukulan kesekian setelah masyarakat sudah dihadapkan pada tekanan kenaikan harga beras, kenaikan tarif beberapa ruas tol utama, juga rencana pembatasan BBM jenis Pertalite dalam waktu dekat.

"Ini harus menjadi catatan pemerintah karena bila semua [kebijakan] terjadi berbarengan, akan berdampak besar ke perekonomian. Sebaiknya kebijakan itu dilakukan saat konsumsi rumah tangga sudah tumbuh di kisaran 5,2%-5,3%," kata Tauhid. 

Kondisi perekonomian masyarakat saat ini sejatinya belum pulih dari hantaman pandemi. Sebelum pandemi, konsumsi rumah tangga bisa tumbuh di atas 5%. Sementara pada kuartal IV-2023 lalu, konsumsi hanya tumbuh 4,47%, terendah sejak Juni 2022. Pemulihan yang masih tertatih bisa patah di tengah jalan dihantam kebijakan yang kontraproduktif. Dengan kata lain, sebaiknya kenaikan tarif PPN baru itu ditunda sampai kondisi daya beli masyarakat sudah cukup pulih.

Biaya Defisit

Namun, harapan akan adanya penundaan sepertinya akan sulit. Karena meskipun sudah direncanakan sejak lama, kebijakan kenaikan tarif PPN jadi 12% tersebut, sulit dilepaskan dari kebutuhan pemerintah membiayai belanja negara di tengah keterbatasan ruang fiskal jelang pergantian pemerintahan baru.

APBN 2025, yang akan menjadi APBN pertama pemerintahan baru sepenuhnya, direncanakan akan melebar defisitnya menjadi 2,45%-2,8%. Itu salah satunya diarahkan untuk mengakomodasi beberapa program pemerintahan baru yang memakan biaya besar. 

Capres no urut 2 Prabowo Subianto melakukan pencoblosan di TPS desa Bojong Koneng, Jawa Barat, Rabu (14/2/2024). (Dimas Ardian/Bloomberg)

Prabowo Subianto, yang sudah mengklaim kemenangan dalam Pilpres 14 Februari lalu, berancang-ancang mendorong program populis berbiaya besar, di antaranya program makan siang gratis anak sekolah yang diperhitungkan memakan biaya lebih dari Rp400 triliun setiap tahun. Belum lagi program lain seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan infrastruktur yang sudah marak digeber 10 tahun terakhir.

Bila menambah utang lebih banyak untuk membiayai belanja negara, dikhawatirkan memicu risiko penurunan peringkat utang RI seperti telah diperingatkan oleh lembaga pemeringkat global Fitch Ratings pada Februari lalu. Penurunan peringkat kredit bisa berdampak serius karena berisiko makin mengurangi likuiditas dalam perekonomian hingga bisa mengerek biaya lebih mahal lagi melalui kenaikan bunga agar dapat menarik arus modal masuk. Singkat kata, perekonomian bisa semakin lemah.

Terlebih posisi utang pemerintah saat ini sudah sangat tinggi, mencapai Rp8.253 triliun pada Februari 2024, rekor bulanan tertinggi sepanjang sejarah. Nilai utang itu setara dengan 38,75% PDB. Selama 10 tahun era Presiden Joko Widodo, total utang Indonesia telah naik tiga kali lipat. Pada 2014, tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, posisi utang RI ada di angka Rp2.609 triliun.

"Belanja pemerintahan baru biasanya lebih besar. Jadi, saya membacanya, kenaikan PPN 12% ini supaya defisit fiskal bisa dijaga di bawah 3% tahun depan," kata Tauhid.

"Bila mau dorong rasio, perluas dong obyek pajaknya bukan [dengan cara] utak atik tarif. Menaikkan tarif pajak itu sama dengan berburu di kebun binatang alias cara paling tidak kreatif [dalam memburu pajak]

Bhima Yudistira, Head of Research Group Centre of Economic and Law Studies

Dengan situasi daya beli masyarakat yang sudah lemah, para ekonom menilai seharusnya pemerintah bisa memikirkan opsi lain dalam menggenjot penerimaan tanpa memberi beban tambahan pada masyarakat.

Pemerintah seharusnya bisa lebih kreatif apabila hendak mengerek pendapatan pajak. "Bila mau dorong rasio, perluas dong obyek pajaknya bukan [dengan cara] utak atik tarif. Menaikkan tarif pajak itu sama dengan 'berburu di kebun binatang' alias cara paling tidak kreatif [dalam memburu pajak]," kata Bhima.

Beberapa lembaga keuangan global seperti Bank Dunia (World Bank) memperkirakan ekonomi RI hanya akan tumbuh 4,9% pada tahun ini dan tahun depan, turun dari prediksi sebelumnya 5%.

Dana Moneter Internasional (IMF) juga melontar prediksi mirip di mana pertumbuhan ekonomi RI tahun ini diperkirakan melambat di 5%. Lebih kecil ketimbang capaian 2023 di angka 5,05%. Sementara pemerintah memproyeksikan ekonomi tahun ini akan mencapai pertumbuhan di 5,2%. Sedang Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 4,7%-5,5%.

Asing Khawatir

Kekhawatiran terhadap kondisi fiskal Indonesia jelang transisi kepemimpinan menjadi salah satu isu utama yang menjadi perhatian para pemodal asing saat ini. Selain sentimen bunga global, pemilik dana asing cenderung menunggu kejelasan lebih terang tentang arah kebijakan perekonomian Indonesia di masa transisi pemerintahan, termasuk juga posisi menteri keuangan di kabinet baru kelak. 

Arus keluar modal asing dari pasar keuangan Indonesia memuncak pada pekan lalu di mana investor asing terus mengurangi kepemilikan mereka di Surat Berharga Negara (SBN).

Investor asing terus menjual kepemilikan SBN mereka (Bloomberg)

Selama periode 4-7 Maret lalu, pemodal asing mencatat posisi jual neto (net sell) sebesar Rp13,61 triliun di pasar keuangan domestik, menurut laporan Bank Indonesia pekan lalu.

Investor nonresiden menjual Rp10,42 triliun SBN, lalu menjual saham sebesar Rp570 miliar dan menjual sedikitnya Rp2,62 triliun di instrumen Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Arus keluar modal asing dari pasar keuangan RI pada periode tersebut menjadi yang terbesar sepanjang tahun ini. Pada periode sebelumnya yaitu 26 Februari-1 Maret, posisi net sell asing baru sebesar Rp2 triliun. 

Dengan langkah asing yang terus melepas SBN, sepanjang tahun ini sampai data transaksi 7 Maret lalu, posisi jual nonresiden di instrumen surat utang itu semakin besar mencapai Rp12,51 triliun. Sedangkan di pasar saham, asing masih mencetak net buy Rp17,88 triliun dan di SRBI sebesar Rp25,35 triliun.

(rui/aji)

No more pages