Logo Bloomberg Technoz

Tutuka mengatakan PT Pertamina (Persero) hingga kini masih mengkaji ihwal proses tata kelola, mula dari rantai pasok hingga kesiapan dalam produksi bensin pengganti Pertalite itu. "Memang sempat jadi opsi, tetapi kami masih tata dahulu rantai pasoknya," kata dia.

Sebenarnya, pemerintah lebih suka menggunakan terminologi ‘konversi’ alih-alih ‘penghapusan’ Pertalite. Terlebih, pada awalnya, PT Pertamina (Persero) berencana agar bensin bersubsidi seharga Rp10.000/liter itu di-upgrade menjadi BBM nabati rendah karbon dengan RON yang lebih  baik yang rencananya dinamai Pertamax Green 92.

Konsumen membeli Pertalite di SPBU Pertamina./Bloomberg-Dimas Ardian


Konversi Pertalite Menjadi Pertamax Green 92

Pada pertengahan September tahun lalu, Kementerian ESDM sempat mengonfirmasi rencana konversi bensin bersubsidi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 mulai 2024. Akan tetapi, konversi tersebut baru dilakukan secara terbatas, dengan sejumlah catatan.

Tutuka saat itu membenarkan konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 adalah bagian dari program Langit Biru besutan Pertamina, yang dirancang untuk beberapa tahap setelah melakukan serangkaian proses evaluasi.

Program Langit Biru pada dasarnya ditujukan agar perusahaan migas milik negara itu memproduksi BBM dengan RON tinggi agar menghasilkan emisi yang lebih rendah demi menjaga kualitas udara.

“Sebelumnya sudah [meluncurkan] Pertamax Green 95, tetapi kita punya jadwal-jadwal [untuk] Pertamina. Tahap 1A, 1B, tahap 2, dan 3. Kami evaluasi untuk bisa dilaksanakan itu, ya kami lebih mendalami dahulu programnya itu,” ujarnya saat ditemui, Jumat (15/9/2023).

Dari hasil uji coba peluncuran terbatas Pertamax Green 95 di Jawa Timur belum lama ini, Tutuka menilai parameter yang disasar –seperti penurunan kadar sulfur–  telah menunjukkan hasil yang memuaskan.

Atas dasar itu, pemerintah kemudian mempertimbangkan untuk melanjutkan program Langit Biru tahap selanjutnya yang mencakup penaikan RON Pertalite dari 90 menjadi 92, yang konon akan disebut sebagai Pertamax Green 92.

“Ada berbagai macam kan programnya itu, ada Pertamax Green 95, lalu terakhir ada tahap 3 dan 4 itu versi ‘green’ dari Pertalite menjadi Pertamax Green 92. Berapa penurunan kadar sulfurnya, kita akan evaluasi Sox dan Nox-nya. Itu yang kita lihat, tampaknya cukup bagus. Seperti [penaikan bauran biodiesel] B35 ke B40, itu juga cukup turun emisinya,” jelasnya.

Rencana konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 akan menggunakan bauran bahan bakar nabati (BBN) berasis tetes tebu atau bioetenol sebesar 7% atau E7. Namun, sampai saat ini riset mengenai emisi yang dihasilkan bahan bakar tersebut masih berlangsung.

Tutuka pun mengatakan kemungkinan Pertalite akan dikonversi menjadi Pertamax Green 92 pada 2024, tetapi dengan sejumlah catatan.

“Ada catatannya, tetapi ini masih rencana ya. Ada yang awal tahun, ada yang tidak. Untuk yang awal [2024], Pertamax Green 95 [dinaikkan dari penggunaan E5] menjadi E8. Kemudian nanti konversi Biosolar ke Dexlite, baru konversi Pertalite ke Pertamax,” ungkapnya.

Pemotor memadati SPBU Pertamina di Pangkal Pinang untuk mengisi BBM (Dimas Ardian/Bloomberg)


Mulai Produksi Masif 2026

Konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92, kata Tutuka, kemungkinan baru akan dilakukan secara masif pada tahun-tahun berikutnya jika uji coba penaikan kadar bioetanol dalam Pertamax Green 95 sukses. Terlebih, Pertalite merupakan BBM bersubsidi yang produksinya tidak bisa sembarangan diutak-atik.

Dengan konversi tersebut, kadar sulfur Pertalite yang sekitar 880 ppm diharapkan dapat ditekan menjadi sekitar 250 ppm. Hal itu berkaca dari kadar sulfur Pertamax yang dapat ditekan ke level tersebut setelah menggunakan bauran E5.

“Kalau Pertamax Green 92 itu masih 2026, itu masih lama ya [produksi]  skala besarnya. [Sekarang] masih uji coba. Bisnisnya harus jelas produknya apa,” sebutnya.

Karyawan SPBU Pertamina./Bloomberg- Dimas Ardian


RON 90 Belum Akan Hilang

Untuk diketahui, BBM di Indonesia mulai 2024 seharusnya tidak lagi menggunakan RON 90. Hal itu sesuai dengan Standar emisi Euro 4 yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O.

Adapun, spesifikasi BBM dengan standar Euro 4 adalah memiliki oktan minimal 91, bebas timbal, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm. Meski mendekati standar tersebut, Pertamax dikatakan belum sesuai lantaran kandungan sulfurnya masih 500 ppm. 

Adapun, jenis BBM Pertamina saat ini yang diklaim sudah sesuai standar tersebut adalah Pertamax Turbo.

Namun demikian, Tutuka mengatakan, pemerintah belum bisa serta-merta menghapus Pertalite dengan RON 90 pada 2024, mempertimbangkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan inflasi.

“Itu kan harus dilihat dari daya beli masyarakat, kondisi sosial, dan dampak-dampaknya. Sekarang ini, [uji coba konversi Pertalite] masih teknis belum meluas itu ya. Belum diputuskan, baru masuk ke arah perhitungan ekonomis bisa atau enggak,” tegasnya.

Sebelumnya, rencana konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 menuai kontroversi dan kritik dari kalangan pakar hingga DPR. Banyak yang pada awalnya menduga rencana tersebut otomatis akan menghapus produk Pertalite dari pasaran pada 2024.

Berbagai kalangan mempertanyakan ihwal subsidi BBM yang akan membengkak jika Pertalite digantikan dengan Pertamax Green 92. Akan tetapi, Menteri BUMN Erick Thohir memastikan Pertalite tidak akan dihapus pada 2024.

Statement Pertalite akan dihapuskan tidak pernah ada, tetapi efisiensi penggunaan Pertalite harus terjadi. Jangan sampai orang mampu beli bensin subsidi, itu kan enggak boleh. Itulah kenapa Pertamax ada, ya kan?” ujarnya.

Terkait dengan kemungkinan besaran harga Pertalite setelah dikonversi menjadi Pertamax Green 92, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah berupaya untuk meminimalisasinya agar tidak menjadi beban masyarakat.

"Ya kita akan tetap lihat agar rakyat itu jangan terbebani, itu kuncinya," tegas Luhut ditemui di sela acara Bloomberg CEO Forum di Jakarta, awal September.

--Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan

(wdh)

No more pages