Logo Bloomberg Technoz

Curhatan Andy ikut menyinggung skema asuransi yang ditawarkan Investree kepada setiap lender yang menempatkan dana. Hal yang turut diamini oleh netizen pengikut Andy di media sosial.  Menurut dia perjanjian bahwa dana investor terlindungi oleh asuransi tidak sepenuhnya bisa ditepati Investree.

“Ditanya tentang asuransi yang dijanjikan, selalu jawabannya template: “lagi diproses, mohon sabar menunggu”, tapi nggak pernah ada info lebih lanjut tentang hal tersebut,” tulis Andy.

Dengan apa yang ia alami, Andy turut menyimpulkan bahwa penempatan investasinya memiliki risiko 100%. Padahal jadi imbal hasil (reward) di perusahaan fintech hanya 14%-18%. “Yang di website bilangnya ada partnership sama perusahaan asuransi, pasa ada pinjaman gagal bayar, nggak berfungsi,” kata dia.

Sekama p2p lending secara umum. (Dok Investree)

Dalam industri fintech, lender atau investor memang terikat dalam perjanjian pinjam-meminjam dana dengan borrower yang difasilitasi oleh platform pinjol. Pada kasus Investree, perusahaan memberi tambahan perlindungan jika skema pinjaman mengalami gagal bayar.

Namun nilai pengembalian dana yang sebelumnya macet tidak 100%. “Lender mendapatkan pengembalian antara 75% hingga 90% dari pokok pinjaman, tidak termasuk bunga dan denda keterlambatan. Hal ini berdasarkan tingkat risiko pinjaman dan premi yang sudah dibayarkan,” tulis Investree di situs resminya.

Artinya lender masih menanggung risiko investasi maksimal 25% dari total dana yang diinvestasikan. Ini belum menghitung bunga dan dengan atas keterlambatan yang tidak dilindungi asuransi.

Manajemen Investree masih dalam klarifikasi sebelumnya menjelaskan bahwa platform hanya perantara atau calo online yang mempertemukan lender dan borrower. Kedua pihak kemudian terikat dalam perjanjian pinjam-meminjam dana secara perdata.

Co-Founder & Chairman at Investree, Adrian Asharyanto Gunadi. (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Adrian Gunadi, menambahkan kesepakatan perdata ini melahirkan keuntungan bagi lender dan borrower, sekaligus memiliki risiko. Yaitu, keterlambatan pencairan dana atau bahkan dalam kasus tertentu mengalami gagal bayar. Investree sebagai penyedia platform Fintech P2P Lending,, termasuk otoritas keuangan terkait tidak menanggung risiko kredit atau gagal bayar.

“Seluruhnya ditanggung oleh pemberi pinjaman, tidak ada otoritas negara yang menanggung risiko atas gagal bayar tersebut,” jelas Adrian bulan Mei. “Kami di industri dan juga dengan OJK sama-sama memberi keterangan  disclosure atau disclaimer dari risiko tersebut. Jadi ini perjanjian perdata lender dan borrower.”

Sementara untuk asuransi, Adrian menyatakan bahwa sesuai dengan standard operating procedure (SOP) dan perjanjian kerja sama (PKS) dengan mitra asuransi Investree, terdapat ketentuan apabila pinjaman sudah masuk dalam kategori wanprestasi, masuk dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), restrukturisasi, dan sudah ada kesepakatan untuk pembayaran parsial, belum dapat diajukan proses klaim. Hal ini berefek pada mundurnya pembayaran terhadap lender.

Jika terdapat kasus gagal bayar investasi, atau  lewat batas 90 hari setelah jatuh tempo, Investree menjadi pihak yang melakukan penagihan kepada borrower atau peminjam.  “Ada litigasi, ada proposal perdamaian, dan sebagainya, atau yang saat ini masih berjalan. Ada juga yang masuk ranah PKPU, karena krediturnya tidak hanya Investree, tapi juga kreditur lain,” terang dia.

Belum ada pernyataan terbaru dari Investree atas keluhan Andy Senjaya.

(wep)

No more pages