Logo Bloomberg Technoz

Special Research

Beli Rumah Dipermudah, Tapi Uangnya dari Mana?

Ruisa Khoiriyah
26 October 2023 16:05

Suasana perumahan subsidi pemerintah di Kawasan Ciseeng Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (5/7/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)
Suasana perumahan subsidi pemerintah di Kawasan Ciseeng Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (5/7/2023). (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Ketidakpastian global yang semakin memuncak dan telah menyeret nilai tukar rupiah menghadapi dolar AS mendekati level psikologis di Rp16.000/US$, membayangi perekonomian Indonesia di tengah semakin panas hawa politik dengan kian dekatnya penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2024.

Setelah Bank Indonesia mengerek bunga acuan menjadi 6%, pemerintah maju dengan membawa segepok paket kebijakan berisi insentif fiskal terutama untuk sektor properti senilai hampir Rp30 triliun, melengkapi total pengeluaran pemerintah untuk berbagai program perlindungan sosial, subsidi BBM, kartu pekerja, kartu sembako dan lain-lain senilai total Rp803,5 triliun.

Pertanyaannya, apakah langkah ini efektif di tengah makin lesunya daya beli masyarakat akibat inflasi harga barang-barang kebutuhan pokok. 

Paket kebijakan baru itu, selain berupa bantuan sosial (bansos) beras senilai total Rp18,57 triliun, dan bantuan langsung tunai (BLT) mengatasi dampak El Nino senilai Rp7,52 triliun, pemerintah juga mengguyur insentif untuk sektor properti dengan perkiraan memakan anggaran Rp3,2 triliun.

Akan tetapi, berbagai insentif kebijakan itu, terutama di sektor properti masih menuai tanya apakah bisa cukup efektif membawa efek berganda -multiplier effect- bagi perekonomian. Lebih lanjut, dengan daya beli masyarakat yang tengah dibebani kenaikan harga pangan, akankah insentif itu bisa berdampak?

Kebijakan pertama yakni pemberian Pajak Pertambahan Nilai yang akan ditanggung oleh pemerintah (PPN DTP) selama 14 bulan ke depan untuk rumah di bawah Rp2 miliar. Kebutuhan anggaran untuk kebijakan ini sekitar Rp1,7 triliun.