“Ya, kenaikan belanja Rp10,1 triliun ditambah Rp10,2 triliun kalau asumsi ICP dan rupiah meleset, di dalamnya terdapat pelebaran belanja subsidi energi,” terangnya.
Risiko Penyelewengan BBM
Dia melanjutkan variabel kurs rupiah akan sangat berdampak pada pelebaran realisasi subsidi energi. Di sisi lain, tidak semua kalangan masyarakat siap menanggung beban kenaikan harga BBM nonsubsidi.
“Imbasnya pasti terjadi pergeseran [konsumsi] ke BBM subsidi. Konsekuensi lebarnya [selisih] harga BBM subsidi dan nonsubsidi juga dapat memicu kebocoran. Selama ini kan sudah terjadi kebocoran, misalnya Solar yang justru dinikmati perusahaan tambang dan perkebunan besar. Nah, kondisi harga minyak dunia hari ini bisa memicu kebocoran yang lebih besar,” tegasnya.
Sekadar catatan, rupiah dibuka Rp15.908/US$ hari ini, mengindikasikan pelemahan sedikitnya 32,5 bps terhadap dolar Amerika Serikat. Tekanan terhadap rupiah masih bersumber dari pasar global di mana aksi jual pemodal di pasar surat utang terus berlanjut.
Sementara itu, harga minyak Brent — yang merupakan patokan global — tetap berada di sekitar US$92/barel pagi ini, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) hanya sedikit berubah di sekitar US$88/barel setelah naik selama dua pekan.
Potensi Defisit Anggaran
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan naik turunnya harga BBM bersubsidi sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah terkait dengan subsidi.
Hal ini tentunya berbeda dengan BBM nonsubsidi seperti Pertamax yang harganya menyesuaikan dengan pergerakan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah.
“Dalam hal ini, apabila harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan, maka dampaknya akan dirasakan di APBN, dengan potensi defisit anggaran yang dapat makin melebar,” ujarnya.
Josua menyebut deviasi pada APBN 2024 bisa cukup besar apabila harga minyak dunia persisten di atas level US$90/barel dan nilai tukar rupiah membandel di atas level Rp15.500/US$.
Mengacu kepada Nota Keuangan RAPBN 2024, lanjutnya, setiap kenaikan Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$1/barel akan meningkatkan defisit anggaran pemerintah sebesar Rp6,5 triliun.
“Hal itu disebabkan oleh lebih besarnya kenaikan belanja pemerintah yakni sebesar Rp10,1 triliun, dibandingkan dengan kenaikan pendapatan pemerintah yang hanya sebesar Rp3,6 triliun,” lanjutnya.
Menurut Josua, apabila harga minyak pada tahun depan secara rata-rata berada di rentang US$90—US$00 per barel, dengan asumsi variabel lain sesuai dengan perkiraan, maka defisit anggaran dapat diperkirakan meningkat sebesar Rp52 triliun—Rp 117 triliun.
“Deviasi yang cukup besar ini akan berpengaruh pada kredibilitas dari APBN Indonesia,” tegasnya.
--Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan
(wdh)