
Rionanda Dhamma Putra adalah Treasury Economist Bank Danamon Indonesia sejak Desember 2024. Pribadinya adalah seorang pembelajar yang ingin tahu banyak hal. Lulus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) pada tahun 2023, minatnya berkutat pada ekonomi politik, ekonomi regional, dan keuangan. |
Langkah Bank Indonesia pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 15 Januari 2025 menghentak pasar. Di luar dugaan, suku bunga BI 7DRR dipotong ke 5,75% ketika Rupiah berada di Rp16.300 per Dolar AS. Secara teori moneter, ini ibarat meledakkan balon yang sudah menggelembung besar. Balon bernama pelemahan nilai tukar Rupiah, selama ini ditahan dengan “extraordinary intervention” seakan dilepas, berkibar bebas menuju nilai yang dianggap sesuai fundamentalnya.
Ketika kita baca dengan seksama, kepentingan pertumbuhan ekonomi domestik merajai pertimbangan Bank Indonesia. RDG melihat bahwa ekonomi Indonesia akan mengarungi laut yang sulit. Kisaran proyeksi pertumbuhan di 2025 diperkirakan menurun 0,1% menjadi 4,7%-5,5%, dengan perkiraan realisasi berada di titik tengah-bawah. Kinerja ini sama dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2024. Artinya, ada ancaman stagnasi ekonomi.
Ancaman tersebut ditambah dengan prospek kembalinya perang dagang. Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump menjanjikan kebijakan tarif akan langsung berlaku di hari pertama setelah dilantik. Tiongkok sebagai pihak yang paling terancam oleh tarif melakukan mitigasi dengan kebijakan moneter yang “appropriately loose” untuk melemahkan mata uang Yuan. Panda merah menggunakan mata uangnya menjadi palu godam untuk menghadapi tamparan elang botak.
Persenjataan Nilai Tukar
Digunakannya instrumen moneter untuk menghadapi isolasionisme dan ancaman stagnasi domestik bukan hal baru. AS sendiri melakukannya pada tahun 1971 dengan Nixon shock. Jendela konvertabilitas Dolar AS yang sebelumnya dipatok ke 35 Dolar AS per ons emas ditutup. Presiden Nixon dan tim-nya memutuskan bahwa Dolar AS harus dibiarkan melemah dalam rangka membantu penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.
Hal serupa juga dilakukan di masa kini oleh negara seperti Jepang dan Turkiye. Sejak tahun 2020 hingga 2024, mata uang Yen sudah melemah 60% dibandingkan Dolar AS seiring dengan tingginya bunga acuan AS dan bunga acuan Jepang baru menyentuh zona positif pada Maret 2024. Turkiye melakukan eksperimen yang lebih berani dengan Turkish Economic Programme (TEP) yang memotong bunga acuan dari 19% ke 8,5% selama September 2021 hingga Mei 2023 dan mata uang Lira melemah hampir 60%.
Dampak keduanya relatif mirip: Biaya kredit investasi menjadi murah seiring dengan tingkat bunga riil yang negatif. Depresiasi yang terjadi juga membuat melancong ke Jepang dan Turkiye terjangkau bagi wisatawan asing. Sektor pariwisata sebagai penghasil devisa keduanya kembali menjadi primadona. Meski pertumbuhan ekonomi keduanya meningkat selama eksperimen berlangsung, biaya impor yang membumbung membuat daya beli domestik menderita, terutama di Turkiye yang bergantung pada impor pangan dan energi. Sementara, Jepang relatif lebih berhasil menjaga inflasi domestik, meski sempat mengalami kenaikan harga pangan.
Musim Semi Ekonomi
Depresiasi mata uang dipicu melalui penurunan suku bunga untuk membuat nilai aset di dalam negeri dan barang-jasa ekspor di luar negeri lebih murah. Instrumen ini dipakai untuk menyuntik darah baru ke tubuh ekonomi melalui jalur investasi dan ekspor neto. Selain itu, mesin ekonomi juga sengaja dipanaskan untuk menghadapi perang dagang yang akan di-gas oleh AS dan Tiongkok. Dalam konstelasi ini, nilai Rupiah diharapkan menjadi yang sedang-sedang saja: Bukan yang terburuk pelemahannya, namun tidak menjadi yang paling kuat.
Sekarang, tinggal satu pertanyaan yang perlu dijawab: Bagaimana posisi jarum temperatur mesin ekonomi saat ini? Dalam melihat suhu tersebut, kita dapat melihatnya dari selisih yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun dengan tenor 2 tahun (10Y-2Y spread). Rentang selisih wajar keduanya adalah 16-32 basis poin. Jika selisihnya di bawah 16 basis poin, apalagi negatif, mesin ekonomi berada di zona lesu. Sebaliknya, selisih yang berada di atas 32 basis poin menandakan mesin ekonomi bekerja terlalu panas.
Posisi terkini dari Indonesia pada jarum tersebut adalah 20,5 basis poin, berada di dalam rentang wajar dan menanjak dari posisi -7 basis poin di akhir Desember 2024. Arah positif ini terjadi seiring keyakinan konsumen yang naik secara musiman pada Desember 2024 dengan nilai 127,7. Secara kumulatif, neraca perdagangan di 2024 mencetak surplus sebesar 31,04 miliar Dolar AS. Bantalan cadangan devisa Indonesia juga mencetak rekor tertinggi di 155,7 miliar Dolar AS. Maka dari itu, menjadi wajar jika sayap mata uang Garuda dibentangkan untuk mendukung momentum pemulihan ekonomi domestik.
Kilas Depan 2025
Pelonggaran kebijakan Bank Indonesia di awal tahun 2025 memberikan kejutan angin segar dan dapat menjadi game-changer ke depan. Dinamika kuartal pertama 2025 yang disertai oleh Tahun Baru Imlek dan Idul Fitri bisa mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia, setidaknya sampai semester pertama. Akan tetapi, kejutan ini membuat ruang pemotongan suku bunga ke depan menyempit dengan kemungkinan terburuk nihil pemotongan suku bunga hingga akhir 2025.
(rio)