“Kalau pakai hitungan upah riil, upah buruh di Jakarta itu turun. Upah nominal dibagi indeks harga konsumen, itulah upah riil. Dan itu yang terjadi sekarang,” ujarnya.
Alasan kedua penolakan UMP, menurut Said Iqbal, adalah ketimpangan upah yang dinilai tidak rasional. Ia menyoroti fakta bahwa buruh pabrik panci di Karawang atau pabrik plastik di Bekasi justru menerima upah lebih tinggi dibanding pekerja di gedung-gedung pencakar langit Jakarta
“Apakah masuk akal buruh pabrik panci di Karawang upahnya lebih tinggi dari pekerja yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit Jakarta? Standar Chartered, Bank Mandiri, Bank BNI, kantor pusat perminyakan, upahnya lebih rendah dari buruh panci di Karawang dan buruh plastik di Bekasi,” tegasnya.
Menurut Said, upah minimum di Bekasi dan Karawang saat ini berada di kisaran Rp5,95 juta, lebih tinggi dibanding UMP DKI Jakarta 2026 yang ditetapkan sebesar Rp5,73 juta. Kondisi tersebut, kata dia, menunjukkan ketimpangan kebijakan pengupahan di wilayah dengan beban hidup tertinggi di Indonesia.
Said Iqbal juga mengkritik kebijakan insentif yang dijanjikan Pemprov DKI sebagai kompensasi rendahnya UMP. Menurutnya, insentif tidak bisa disamakan dengan upah karena sifatnya terbatas dan bergantung pada anggaran.
“Insentif itu tidak berlaku untuk semua buruh penerima upah minimum. Itu dikuota karena tergantung APBD. Jadi bukan bagian dari upah, itu bantuan sosial,” katanya.
Ia mencontohkan laporan dari pabrik di kawasan Cilincing dan Pulo Gadung, di mana dari sekitar 300 karyawan, hanya 15 orang yang menerima insentif pangan, air bersih, atau transportasi. Artinya, hanya sekitar 5% buruh yang menikmati insentif tersebut.
Sebagai perbandingan internasional, Said Iqbal menyebut upah minimum Jakarta juga tertinggal dibanding sejumlah kota besar di Asia jika dikonversi ke dolar AS. Dia menyebut upah minimum Jakarta itu kira-kira hanya sekitar US$400 dolar. Sementara Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, sampai Hanoi itu di atas Jakarta.
Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, KSPI menilai keputusan Gubernur DKI Jakarta dalam menetapkan UMP 2026 tidak sesuai dengan fakta di lapangan. KSPI mendesak agar UMP DKI Jakarta 2026 ditetapkan minimal setara nilai KHL Rp5,89 juta sebagaimana data resmi BPS.
Seperti yang diketahui, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Partai Buruh akan menggelar aksi demonstrasi selama dua hari berturut-turut, yakni pada 29 dan 30 Desember 2025, di Istana Negara, Jakarta. Aksi ini mengangkat isu Upah Minimum DKI Jakarta dan Jawa Barat tahun 2026.
Pada aksi 29 Desember 2025, sekitar 500–1.000 buruh dijadwalkan turun ke jalan dengan tuntutan utama menolak UMP DKI Jakarta 2026 yang dinilai masih di bawah 100% KHL sebesar Rp5,89 juta serta berada di bawah UMK Bekasi dan Karawang. Buruh juga menuntut penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) DKI Jakarta 2026 dengan nilai di atas 100% KHL ditambah 5%.
Sementara itu, aksi lanjutan akan digelar pada 30 Desember 2025 dengan estimasi melibatkan sekitar 10.000 sepeda motor buruh se-Jawa Barat. Aksi tersebut menuntut Gubernur Jawa Barat mengembalikan dan menetapkan nilai Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) sesuai rekomendasi resmi para bupati dan wali kota.
(ell)






























