Sementara itu, investasi yang lebih terarah dinilai menjadi pendorong utama peningkatan produktivitas dan kapasitas ekonomi dalam jangka menengah hingga panjang.
Sejalan dengan itu, hampir 60% aliran FDI tercatat mengarah ke sektor manufaktur, termasuk logam dasar, kimia, mesin, dan elektronik. Pergeseran ini dinilai memperkuat struktur ekonomi nasional melalui investasi bernilai tambah yang berdampak langsung pada kapasitas produksi dan daya saing industri.
Chief Economist & Macro Strategist BRI Danareksa Sekuritas, Helmy Kristanto, menilai dominasi FDI di sektor manufaktur menjadi sinyal positif bagi kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Investasi berbasis manufaktur memiliki efek berganda yang lebih besar terhadap perekonomian, mulai dari peningkatan pembentukan modal tetap, penciptaan lapangan kerja, hingga penguatan basis industri nasional,” ujar Helmy dalam keterangannya, dikutip Rabu (24/12/2025).
Laporan tersebut juga mencatat bahwa setiap Rp1 triliun FDI berkontribusi sekitar Rp1,13 triliun terhadap pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital formation/GFCF), mempertegas peran investasi asing dalam memperkuat kapasitas produksi nasional.
Dari sisi pasar keuangan, pelonggaran kebijakan moneter global dan domestik diperkirakan menciptakan kondisi yang lebih kondusif. Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun diproyeksikan bergerak di kisaran 5,6–6,1%, mencerminkan stabilitas yang mendukung pembiayaan pemerintah maupun sektor usaha.
Target IHSG
Pandangan senada juga disampaikan dari sisi pasar saham. Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata, menilai pasar saham Indonesia masih menjadi salah satu tujuan investasi yang menarik di kawasan emerging market.
Menurut Liza, valuasi saham Indonesia relatif masih rendah dibandingkan pasar Amerika Serikat.
“Emerging market, termasuk Indonesia, masih undervalued dibandingkan US equities. Secara historis, posisinya sudah mendekati level terendah sejak krisis global awal 2000-an, sehingga peluang kenaikannya masih besar,” ujar Liza dalam acara Market Outlook 2026 & Emiten Chat bersama Kiwoom Sekuritas Indonesia dikutip Rabu (24/12/2025).
Meski proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 diperkirakan masih di bawah 5%, Liza menilai prospek jangka panjang tetap solid. Ia merujuk pada pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang memproyeksikan Indonesia menjadi ekonomi terbesar keempat dunia pada 2075, setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Dari sisi kebijakan, Liza menilai koordinasi fiskal dan moneter menunjukkan dampak positif terhadap pasar. Sejak September 2025, pemerintah telah menyalurkan likuiditas sebesar Rp276 triliun ke bank-bank Himbara untuk mendorong penyaluran kredit, disertai pelonggaran likuiditas dari Bank Indonesia senilai Rp400 triliun.
“Koordinasi fiskal dan moneter cukup solid. Pemerintah tetap menjaga defisit APBN di bawah 3% PDB, dengan target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2026 dan inflasi 2,5%,” kata Liza.
Meski demikian, ia mengingatkan sejumlah tantangan struktural yang masih perlu dicermati, antara lain reformasi kebijakan pajak, optimalisasi penyaluran kredit perbankan, tekanan terhadap margin bunga bersih (NIM), serta potensi kenaikan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
“Likuiditas sudah disuntikkan dan dampaknya sejauh ini positif. Tapi efektivitasnya baru benar-benar teruji tahun depan, apa dana tersebut bisa terserap menjadi kredit produktif atau tidak,” ujarnya.
Untuk pasar modal, Liza menyoroti wacana reformasi seperti peningkatan free float minimum, perluasan peran market maker, penguatan perlindungan investor ritel, serta upaya mendorong saham domestik menjadi lebih index worthy di MSCI dan FTSE Russell. Langkah tersebut dinilai penting untuk menarik arus dana pasif asing dan memperdalam likuiditas pasar.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, Kiwoom Sekuritas memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpeluang melanjutkan tren kenaikan dalam jangka menengah hingga panjang.
“Jika tren ini tetap terjaga, IHSG berpeluang mencapai level 10.000 hingga 10.200 pada 2026,” ujar Liza.
Meski arus dana asing masih mencatatkan net sell sekitar Rp26 triliun secara year to date, Kiwoom mencatat indikasi perbaikan aliran dana, terutama pada saham-saham yang masuk indeks MSCI seperti BRMS, AMMN, dan BREN.
Untuk strategi investasi 2026, Kiwoom Sekuritas merekomendasikan saham dari sektor konsumer, perbankan, telekomunikasi, energi, dan infrastruktur, antara lain JPFA, KLBF, SSMS, TLKM, JSMR, ASII, BBNI, dan BBCA, dengan pendekatan selektif serta horizon jangka menengah hingga panjang.
(dhf)































