Cho, yang merupakan sekutu dekat Lai, pekan ini menjadi perdana menteri pertama sejak Taiwan berkembang menjadi negara demokrasi pada 1990-an yang menolak menandatangani undang-undang yang telah disahkan parlemen. Langkah tersebut merupakan prosedur formal yang diwajibkan konstitusi sebelum presiden dapat memberlakukan undang-undang baru.
Kuomintang dalam pernyataannya pada Senin (15/12) menyatakan bahwa berdasarkan konstitusi, perdana menteri tidak memiliki kewenangan untuk memprotes atau menolak melaksanakan undang-undang yang telah disahkan legislatif. Partai itu menambahkan bahwa Taiwan kini memasuki “krisis konstitusional” dan “bergerak menuju otoritarianisme dan kediktatoran.”
Meski Lai memenangkan pemilihan presiden 2024 dan memimpin cabang eksekutif, Partai Progresif Demokratik (DPP) yang dipimpinnya kehilangan mayoritas di parlemen, sehingga kelompok oposisi kerap mempersulit jalannya pemerintahan.
Oposisi juga menunda pembahasan anggaran khusus militer bernilai rekor yang diajukan pemerintah Lai pada November. Akibatnya, upaya presiden untuk memperkuat kemampuan pertahanan Taiwan berada dalam ketidakpastian, di tengah meningkatnya sikap agresif China dalam klaimnya atas pulau yang berpemerintahan sendiri tersebut.
Amandemen pembagian pendapatan itu akan memaksa pemerintah pusat berutang hingga NT$563,8 miliar tahun depan, menurut Lai. Dalam pidatonya, ia mengatakan kebijakan tersebut “tidak hanya melanggar batas pinjaman yang ditetapkan dalam Undang-Undang Utang Publik, tetapi juga mendorong keuangan pemerintah pusat ke ambang kehancuran.”
Pemerintahan Lai telah berupaya menahan sejumlah rancangan undang-undang yang disahkan oposisi sejak ia menjabat. Namun, dengan Mahkamah Konstitusi yang saat ini praktis lumpuh, penolakan untuk mengesahkan undang-undang menjadi pilihan terakhir partai berkuasa, menurut Chang Chun-hao, dosen Departemen Ilmu Politik di Universitas Tunghai.
Mengambil langkah tersebut “menunjukkan bahwa konflik antara partai berkuasa dan oposisi telah mencapai tingkat yang sangat tinggi,” kata Chang, seraya menambahkan bahwa kondisi ini dapat memicu ketidakpastian politik lebih lanjut ke depan.
(bbn)































