Logo Bloomberg Technoz

Menurutnya, Danantara memang akan berperan dalam mendukung pengembangan pasar keuangan domestik, namun bukan dalam bentuk angka, instrumen, atau target pembelian sebagaimana yang beredar.

Dalam penjelasannya, Ali menyebut bahwa komposisi aset di pasar modal Indonesia masih terbatas dan didominasi oleh surat utang negara serta obligasi korporasi dengan likuiditas rendah. Karena itu, perusahaan akan melakukan seleksi ketat terhadap aset yang akan dibeli.

Porsi dana terbesar nantinya diarahkan ke instrumen yang dianggap matang, terutama surat utang negara seri likuid. Untuk obligasi off-the-run, penilaian dilakukan berdasarkan premi yang ditawarkan. Sementara untuk saham, Danantara tidak akan masuk ke saham bersifat spekulatif atau dengan price-to-earnings ratio yang tidak sesuai parameter internal.

Daftar Portofolio Danantara

Di tengah klarifikasi tersebut, daftar investasi prioritas Danantara kembali menjadi sorotan. Berdasarkan rangkuman Bloomberg Technoz, BPI Danantara menyiapkan sedikitnya 10 proyek strategis nasional yang tersebar dari Kalimantan, Papua, Sumatera, hingga Nusa Tenggara.

Proyek dengan nilai terbesar adalah industri dimethyl ether (DME) berbasis batu bara yang berlokasi di Bulungan, Kutai Timur, Kota Baru, Muara Enim, dan Banyuasin. Proyek ini membutuhkan investasi Rp164 triliun dan dikaitkan dengan potensi dampak pada kinerja PT Bukit Asam Tbk (PTBA) sebagai pemasok batu bara.

Selanjutnya, proyek smelter aluminium berbasis bauksit di Mempawah, Kalimantan Barat, membutuhkan dana sekitar Rp72 triliun dan terkait dengan PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Proyek industri besi baja berbasis iron sand di Sarmi, Papua, senilai Rp19 triliun dikaitkan dengan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS).

Pada sektor kimia, Danantara menempatkan dua proyek besar yang melibatkan PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) dan PT Barito Pacific Tbk (BRPT). Proyek pertama adalah pabrik chlor alkali–ethylene dichloride di Cilegon dengan nilai Rp13 triliun. Proyek kedua adalah chlor alkali plant (TPIA–INA) di Aceh, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Riau, Banten, dan NTT senilai Rp16 triliun.

Daftar proyek lainnya mencakup pembangunan industri aspal di Buton, Sulawesi Tenggara, senilai Rp1,5 triliun yang berkaitan dengan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), serta proyek geothermal co-generation berkapasitas 45 MW di Ulebelu dan Lahendong senilai Rp2,7 triliun yang berhubungan dengan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO).

Perusahaan juga memasukkan proyek pembangunan Kampung Haji Indonesia di Arab Saudi yang akan melibatkan PT PP Tbk (PTPP), serta rencana pemberian pinjaman Rp30 triliun kepada Garuda Indonesia (GIAA) untuk memperkuat kondisi keuangan maskapai tersebut.

Pada sektor pangan, Danantara menyiapkan proyek revitalisasi tambak seluas 20.413 hektare di wilayah Pantura senilai Rp26 triliun. Proyek ini dikaitkan dengan PT Central Proteina Prima Tbk (CPRO) sebagai pemain utama di industri budidaya perikanan.

Disisi lain, pengamat pasar modal Reydi Octa menilai bahwa bantahan Danantara mengenai rencana investasi Rp16 triliun di pasar modal dapat memengaruhi reaksi investor yang sebelumnya telah memperhitungkan momentum potensi masuknya dana besar tersebut.

Ia menjelaskan bahwa investor yang semula berencana mengambil posisi agresif cenderung menahan diri hingga terdapat kejelasan lebih lanjut. Kondisi ini, menurutnya, dapat menekan psikologi pasar, terutama pada saham-saham yang sebelumnya diasosiasikan sebagai target pembelian.

Reydi menyampaikan bahwa IHSG dalam jangka pendek berpotensi bergerak sideways apabila tidak ada katalis lain. Ia menegaskan bahwa dampak dari bantahan ini bersifat jangka pendek dan tidak mengubah fundamental perusahaan.

(dhf)

No more pages