Logo Bloomberg Technoz

"Dengan demikian, orientasi fiskal seharusnya bukan pada simbol moneter, tetapi pada real welfare economy—ekonomi yang dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat," jelasnya. 

Ia menilai pemerintah perlu memusatkan perhatian pada tiga prioritas utama, yakni mengatasi pengangguran, menjaga daya beli masyarakat, dan memperbaiki kualitas pelayanan publik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka masih sekitar 5,3%, didominasi oleh usia muda. 

Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang lebih dari separuh PDB nasional masih tertekan.

Uang rupiah. ( Dimas Ardian/Bloomberg)

Sehingga, sebagai alternatif, Achmad mendorong pemerintah untuk memperkuat dorongan fiskal berbasis produktivitas. Misalnya, memperluas skema subsidi upah bagi sektor UMKM, menurunkan PPh badan untuk industri padat karya, atau mengoptimalkan belanja infrastruktur kecil yang menyerap tenaga kerja lokal.

"Kebijakan seperti ini memiliki efek langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat dan konsumsi domestik—yang menjadi motor utama ekonomi Indonesia. Di sisi lain, dengan reformasi pelayanan publik, pemerintah dapat meningkatkan efisiensi belanja dan menekan kebocoran anggaran," terangnya.

Redenominasi Butuh Dukungan Stabilitas Makro dan Politik 

Sementara itu, ekonom Permata Bank, Josua Pardede menambahkan meskipun redenominasi memiliki manfaat administratif seperti efisiensi transaksi dan citra mata uang yang lebih kredibel, kebijakan itu baru layak dijalankan jika stabilitas makro dan dukungan politik telah kuat. 

"Negara-negara yang berhasil menerapkannya memiliki sejumlah pola yang sama: stabilitas makro, landasan hukum yang kuat, kampanye publik yang luas, dan dukungan pelaku usaha," kata Josua ketika dihubungi Bloomberg Technoz. 

Ia juga tak menampik jika risiko dalam penerapan redenominasi ini pasti ada, tetapi ia meyakni masih dapat dikelola. Selain itu, risiko besarnya, adalah salah paham publik yang menyamakan redenominasi dengan pemotongan nilai, sehingga memicu penarikan dana atau spekulasi harga. 

"Risiko lain ialah pembulatan harga berlebihan oleh pelaku usaha, gangguan distribusi uang pecahan baru, serta beban teknis penyesuaian sistem," jelasnya. 

Josua menilai, "Menimbang seluruh aspek tersebut, urgensi redenominasi adalah moderat-tinggi: manfaat efisiensi dan persepsi nyata, risikonya bisa dikelola dengan prasyarat stabilitas, komunikasi kuat, dan disiplin eksekusi."

Untuk diketahui, pemerintah melalui Kemenkeu berencana menargetkan RUU Redenominasi selesai pada 2027.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029 yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 10 Oktober 2025.

"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027," tulis peraturan tersebut, dikutip Kamis (6/11/2025).

Beberapa tujuan yang diajukan Kemenkeu dilakukannya pembentukan RUU redenominasi rupiah ini. Pertama, efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional.

Kedua, sebagai bentuk menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional. Ketiga, menjaga nilai rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat. Keempat, meningkatkan kredibilitas Rupiah.

Redenominasi merupakan sebuah kebijakan menyederhanakan nilai mata uang suatu negara sehingga jadi tampak lebih kecil dari sebelumnya, namun tidak mengurangi nilai tukarnya.

Dengan kata lain, redenominasi ini dapat membuat jumlah angka pada suatu mata uang menjadi berkurang, akan tetapi nilainya tidak berubah sama sekali.

(dhf)

No more pages