Pelemahan pada saham perindustrian diperberat oleh amblesnya harga saham PT Sarana Mitra Luas Tbk (SMIL) drop 14,9%, dan saham PT Ateliers Mecaniques D'Indonesie Tbk (AMIN) yang turun 14,4%. Serta saham PT Nusatama Berkah Tbk (NTBK) drop 9,71%.
Adapun saham–saham keuangan juga jadi pendorong pelemahan IHSG, saham PT IndoKripto Koin Semesta Tbk (COIN) terpeleset 13,4% dan saham PT Bank SMBC Indonesia Tbk (BTPN) juga terjebak di zona merah dengan penurunan 4,42%. Serta saham PT Bank INA Tbk (BINA) drop 3,79%.
Hingga penutupan perdagangan, indeks LQ45 yang berisikan saham–saham Big Caps tercatat melemah mencapai 0,23% (1,91 poin) ke level 822,61.
Adapun saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) memimpin pelemahan saham LQ45 karena telah mengalami penurunan harga mencapai 8,12%. Disusul oleh melemahnya saham PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) yang ambles 4,51%.
Sedang saham–saham unggulan LQ45 selanjutnya, seperti saham PT Astra International Tbk (ASII) berada pada zona merah dengan kehilangan 4,17%. Saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) juga melemah 3,59%.
Sama halnya dengan saham PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) yang melemah 2,35%. Untuk PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) sahamnya terpangkas 1,59%.
Sentimen MSCI seputar perubahan cara menghitung free float saham–saham perusahaan Indonesia masih menghantui IHSG pada perdagangan siang hari ini.
Analis Phintraco Sekuritas memaparkan, melemahnya beberapa saham blue chips dengan kapitalisasi pasar besar serta berlanjutnya koreksi beberapa saham konglomerasi juga membebani IHSG.
Terlebih lagi, mengutip Bloomberg News, metodologi baru yang diusulkan oleh MSCI untuk menghitung free float bagi saham–saham Indonesia berpotensi menyebabkan arus keluar pasif (passive outflows) hingga mencapai US$24,2 miliar (mencapai Rp398 triliun), terutama dari saham–saham berkapitalisasi besar (large-caps), menurut analis Citi.
Analis Citibank, Ferry Wong, menilai, perubahan metodologi penghitungan free float oleh MSCI berimplikasi pada penurunan estimasi free float bagi banyak saham populer di Indonesia — terutama perusahaan konglomerasi atau bisnis keluarga dengan struktur kepemilikan silang yang tinggi.
Menurut Ferry, penurunan free float tersebut dapat menyebabkan turunnya bobot saham dalam indeks, yang pada gilirannya memicu arus keluar (outflow), seperti halnya saham Bank BCA (BBCA), AMMN, Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Telkom Indonesia (TLKM), Bank Mandiri (BMRI), dan Astra International (ASII).
Sebaliknya, saham tertentu seperti Dian Swastatika (DSSA) berpotensi menjadi penerima manfaat (beneficiary) dari rotasi arus dana ini.
Ferry menambahkan, dampak negatif dapat diminimalkan jika emiten melakukan restrukturisasi kepemilikan atau meningkatkan porsi saham publik melalui secondary placement.
Ia juga menegaskan, tekanan terhadap saham–saham Indonesia kemungkinan tidak berlangsung lama, mengingat tahap ini masih bersifat permulaan (preliminary) dan perusahaan masih dapat menyesuaikan struktur kepemilikan — misalnya, dengan memindahkan kepemilikan saham dari entitas korporasi ke individu atau perusahaan sekuritas, apabila kepemilikan tersebut pada dasarnya sudah termasuk dalam kategori free float.
(fad/aji)





























