Logo Bloomberg Technoz

“Apalagi jika pemerintah dan pasar dalam negeri tidak siap menyerap CPO dengan harga bersaing dengan internasional, ini akan menimbulkan guncangan di perkebunan sawit, khususnya di petani sawitnya,” kata Syaiful ketika dihubungi, Jumat (17/10/2025).

Ilustrasi Kebun Kelapa Sawit (bpdp.or.id)

Bagaimanapun, lanjut Syaiful, regulasi DMO memang bisa ditempuh pemerintah untuk mengendalikan pasokan CPO agar diprioritaskan untuk dalam negeri dibandingkan dengan diekspor ke luar negeri.

Menurut dia, saat ini pengusaha sawit memang lebih tertarik untuk mengekspor produknya sebab harga yang ditawarkan di pasar internasional lebih menggiurkan. Walhasil, skema DMO sawit untuk biodiesel dinilai bisa menjadi solusi.

“Dalam hal ini pemerintah ingin memastikan CPO tidak keluar, tetapi terlebih dahulu digunakan untuk kepentingan dalam negeri, yakni minyak goreng dan produk energi terbarukan, seperti biosolar,” ucap dia.

“Karena pemerintah sendiri tidak langsung menguasai produk CPO. Mengandalkan PTPN [PT Perkebunan Nusantara] produksinya masih kecil. Jadi, jalan satu-satunya adalah pengendalian melalui DMO,” lanjutnya.

Meskipun begitu, dia mengaku belum dapat mengkalkulasi kuota DMO yang tepat untuk diterapkan terhadap produk migor dan biodiesel. Dia meminta pemerintah mengkalkulasi kuota tersebut dengan tepat untuk memitigasi terguncangnya industri sawit nasional.

“Terkait dengan berapa idealnya DMO yang diberlakukan, sebaiknya pemerintah menghitung ulang berbagai faktor. Jangan sampai pemberlakuan regulasi tersebut dapat mengguncang ekosistem industri sawit nasional dan menciptakan ketidakpastian pasar,” tegas Syaiful.

Pertumbuhan produksi CPO Indonesia untuk menopang program biodiesel./dok. BMI

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia melempar opsi penerapan DMO untuk minyak sawit khusus untuk bahan baku biodiesel, seiring dengan akan dilakukannya pemangkasan ekspor CPO sebesar 5,3 juta ton untuk program B50.

Menurut Bahlil, jika opsi pemangkasan ekspor CPO dipilih, pemerintah akan menyiapkan kebijakan pengaturan pasokan minyak sawit yang diperuntukkan untuk industri dalam negeri dan yang akan di ekspor.

Nah, kalau alternatif ketiga yang dipakai, memangkas sebagian ekspor, maka salah satu opsinya adalah mengatur antara kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Itu di dalamnya adalah salah satu instrumennya DMO,” kata Bahlil kepada awak media, di kantor Kementerian ESDM, Selasa (14/10/2025).

Bahlil mengatakan penerapan mandatori biodiesel B50 pada semester II-2026 akan menambah kebutuhan CPO untuk sektor energi. Dia menyatakan terdapat tiga opsi yang akan ditempuh untuk memenuhi pasokan CPO tersebut, yang salah satunya melalui pembatasan ekspor dan penerapan DMO.

Opsi lainnya, kata Bahlil, adalah memaksimalkan produksi CPO dengan mengintensifkan perkebunan sawit. Opsi ketiga, mempercepat pembukaan lahan perkebunan sawit baru di Indonesia.

Sekadar catatan, kebijakan DMO saat ini sudah diberlakukan untuk CPO, tetapi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng. Rasio DMO CPO untuk minyak goreng saat ini adalah 1:4, alias setiap 1 ton CPO yang diwajibkan pasok ke dalam negeri, produsen dapat mengekspor 4 ton minyak sawit.

Terpisah, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani memprediksi Indonesia tambahan produksi 4 juta kiloliter (kl) fatty acid methyl ester (FAME) untuk menjalankan mandatori B50 pada 2026.

Dia menjelaskan saat ini total produksi biodiesel untuk memenuhi kebutuhan B40 berada sekitar 15,7 juta kl. Untuk B50, Eniya memprediksi program tersebut akan menghabiskan biodiesel sekitar 19 hingga 20 juta kl.

Dengan begitu, Indonesia membutuhkan tambahan produksi sekitar 4 juta kl FAME untuk menjalankan B50.

Lebih lanjut, Eniya optimistis penambahan bahan baku tersebut dapat terpenuhi dari pasokan CPO domestik, yang saat ini produksinya sekitar 50 juta metrik ton per tahun.

Selain tambahan perkebunan sawit, Eniya yakin ekspansi pabrik-pabrik biodiesel akan membuat kebutuhan biodiesel untuk B50 dapat terpenuhi.

Dalam perkembangannya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memastikan Indonesia akan memangkas 5,3 juta ton ekspor CPO pada 2026 guna menyokong program mandatori B50.

Amran mengatakan produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 46 juta ton/tahun, tetapi hanya 20 juta ton yang digunakan untuk diproses di dalam negeri. Adapun, 26 juta ton lainnya masih dijual untuk pasar ekspor.

“B50 membutuhkan CPO 5,3 juta ton. Ekspor ini nantinya kita tarik 5,3 juta ton, kemudian dijadikan biofuel, dijadikan pengganti solar,” ungkap Amran.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total produksi CPO mencatat sepanjang Januari—Juli 2025 mencapai 30,59 juta ton dan 14,3 juta ton di antaranya dimanfaatkan untuk dalam negeri, sedangkan 19,2 juta ton sisanya diekspor.

Berdasarkan kebutuhannya, sektor pangan menyerap sekitar 5,7 juta ton CPO, oleokimia 1,3 juta ton CPO, dan biodiesel 7,2 juta ton CPO.

Gapki juga mencatat, dalam tiga tahun terakhir, produksi CPO stagnan di sekitar 50 juta ton. Perinciannya; realisasi produksi 2022 sebesar 46,7 juta ton, 2023 sebanyak 50,6 juta ton, dan 2024 sejumlah 48,1 juta ton.

(azr/wdh)

No more pages