Logo Bloomberg Technoz

Kini, Jang tengah mengejar lompatan besar berikutnya: memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk merevolusi cara pembuatan film. Dengan dukungan dana sebesar 6 miliar won (sekitar 4,3 juta dolar AS) dari Altos Ventures, Mofac sedang membangun server internal untuk menjalankan platform pembuatan film berbasis AI menggunakan perangkat lunak Unreal Engine milik Epic Games. 

Ia bertaruh bahwa AI dapat membantu memangkas waktu produksi hingga setengahnya dan mengurangi biaya secara signifikan, sehingga studio dapat menghasilkan satu film layar lebar dan satu serial setiap tahun.

“Pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah, ‘Di mana kamu menggunakan AI?’” kata Jang di studionya di distrik Gangnam, Seoul. 

“Hasil sejati adalah ketika tidak ada yang bisa membedakannya. Dengan pemimpin yang kuat memegang AI sebagai alat, pekerjaan yang dulu memerlukan ratusan orang, segera bisa dilakukan hanya oleh satu atau dua orang.”

Mofac merupakan bagian dari gelombang besar di industri film Korea yang berupaya mengintegrasikan teknologi AI di tengah tantangan lemahnya pendapatan box office dan meningkatnya anggaran produksi. Industri film Korea Selatan mengalami pemulihan terburuk setelah pandemi, dengan jumlah rilis film baru turun lebih dari setengah dari puncaknya.

Studio Korea lainnya, Meditation with a Pencil, sedang mengerjakan ulang versi animasi dari film Hong Kong A Better Tomorrow dengan bantuan alat berbasis AI. Galaxy Corp., startup di balik aktor Parasite Song Kang-ho dan bintang K-pop G-Dragon, bekerja sama dengan SKAI Intelligence dan platform Omniverse milik Nvidia untuk menciptakan konten serta karakter virtual berbasis AI.

Studio film Korea lainnya seperti Hive Media Corp., pembuat 12.12: The Day, juga secara aktif mencari cara untuk mengadopsi alat AI dalam menciptakan film animasi maupun live-action. Inisiatif ini muncul seiring dengan janji pemerintah Korea Selatan yang akan memberikan pendanaan baru untuk animasi berbasis AI dan produksi berteknologi tinggi. Pejabat berencana membentuk dana khusus untuk animasi dan memperluas anggaran bagi proyek-proyek yang menggunakan alat AI.

Sementara penggunaan AI dalam produksi film masih menjadi perdebatan di AS, para pembuat film di Asia sudah mulai memanfaatkan alat pembuat video seperti Sora dari OpenAI hingga Kling AI milik raksasa video pendek Tiongkok, Kuaishou, yang mampu menghasilkan klip hiper-realistis hanya dalam hitungan detik.

Namun, teknologi ini tetap memicu kegelisahan. Para pembuat film terkemuka khawatir teknologi tersebut dapat menggantikan pekerjaan dan mengubah bahasa kreatif sinema. Park Chan-wook, sutradara Old Boy dan No Other Choice, mengatakan bahwa ia berharap AI tetap menjadi “perpanjangan dari kotak peralatan kami, seperti halnya efek visual (VFX) dulu.”

“Teknologi ini juga bisa menghilangkan banyak pekerjaan dan secara fundamental mengubah estetika sinema,” kata Park dalam sebuah wawancara selama Festival Film Internasional Busan. “Dan hal itu membuat saya merasa takut.”

Bagi Jang dari Mofac, yang hanya mengandalkan lima aktor dan teknologi motion capture untuk menciptakan film terobosannya, ketegangan itu justru menjadi inti dari perkembangan ini. King of Kings menunjukkan bahwa studio dengan sumber daya terbatas dapat berdiri sejajar dengan raksasa Hollywood. Ia percaya bahwa AI hanya akan mempercepat perubahan tersebut — asalkan industri siap untuk menerimanya.

(bbn)

No more pages