"Kami mendesak untuk penyelenggara negara agar menghentikan misalokasi anggaran, termasuk
mengurangi porsi belanja untuk program populis seperti MBG," tutur Lili.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan AEI lainnya, Vivi Alatas juga menyoroti kejadian sebanyak 5.000 siswa keracunan MBG per 19 September lalu. Dia pun turut meminta pemerintah untuk lebih dulu melaksanakan uji coba dengan dampak yang terukur.
"Untuk program MBG, perlu diawali dengan proses uji coba dengan luaran dan indikator dampak yang terukur dan transparan, kemudian tingkatkan skala program hanya pada program yang terbukti berhasil,” kata dia.
Teuku Rifky, perwakilan AEI lainnya juga turut menyoroti poin paket insentif yang diumumkan pemerintah belum lama ini, atau dengan sebutan paket stimulus 8+4+5.
Rencana pemberian insentif itu dinilainya hanya memberikan bantuan sementara dan hanya bukan kebijakan tepat untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Hal ini, justru hanya akan memperparah misalokasi sumber daya, seperti penekanan pada program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang justru dinilai menimbulkan crowd out.
"Untuk terjadinya good quality jobs, perlu perbaikan institusi, iklim usaha, dan kepastian hukum, yang belum dijawab oleh paket stimulus ini," kata Teuku,
"Ini juga berpotensi justru menimbulkan crowd out dari bisnis-bisnis lokal yang sudah tumbuh secara organik," kata perwakilan AEI lainnya, Rizki Nauli Siregar.
Daftar desakan darurat ekonomi dari AEI:
- Perbaiki secara menyeluruh misalokasi anggaran yang terjadi dan tempatkan anggaran pada kebijakan dan program secara wajar dan proporsional.
- Kembalikan independensi, transparansi, dan pastikan tidak ada intervensi berdasarkan kepentingan pihak tertentu pada berbagai institusi penyelenggara negara (Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan), serta kembalikan penyelenggara negara pada marwah dan fungsi seperti seharusnya.
- Hentikan dominasi negara yang berisiko melemahkan aktivitas perekonomian lokal, termasuk pelibatan Danantara, BUMN, TNI, dan Polri sebagai penyelenggara yang dominan
sehingga membuat pasar tidak kompetitif dan dapat menyingkirkan lapangan kerja lokal, ekosistem UMKM, sektor swasta, serta modal sosial masyarakat.
- Deregulasi kebijakan, perizinan, lisensi dan penyederhanaan birokrasi yang menghambat terciptanya iklim usaha dan investasi yang kondusif.
- Prioritaskan kebijakan yang menangani ketimpangan dalam berbagai dimensi.
- Kembalikan kebijakan berbasis bukti dan proses teknokratis dalam pengambilan kebijakan serta berantas program populis yang mengganggu kestabilan dan prudensi fiskal (seperti MBG, Kopdes, Sekolah Rakyat, Hilirisasi, Subsidi Energi dan Kompensasi Energi, serta Danantara).
- Tingkatkan kualitas institusi, bangun kepercayaan publik, dan sehatkan tata kelola penyelenggara negara serta demokrasi, termasuk memberantas konflik kepentingan maupun perburuan rente.
(ain)






























