Di sisi lain, Sarman juga menyoroti peluang ekspor CPO dan turunannya akan tetap terbuka, meskipun sejumlah persyaratan yang ketat harus mampu dipenuhi oleh kalangan pengusaha.
Dia menuturkan produk CPO RI harus memenuhi Undang-Undang Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang mengharuskan sertifikasi keberlanjutan dan bukti tanpa deforestasi pada lahan produksi.
Selain itu, pengusaha perlu melengkapi persyaratan ekspor nasional seperti Persetujuan Ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan dan sertifikasi keamanan pangan berbasis Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP).
“Jika persyaratan ini dapat kita penuhi, pangsa pasar Eropa terbuka bagi CPO dan turunannya,” ujarnya.
Sekadar catatan, EUDR sendiri menjadi momok bagi ekspor komoditas Indonesia karena memengaruhi produk perdagangan Indonesia. Regulasi yang baru itu mengatur dengan ketat soal kenihilan soal persinggungan penebangan hutan dengan produk tertentu.
Uni Eropa menyepakati aturan ini sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi hutan dunia. Untuk itu, produk yang masuk ke Uni Eropa harus dipastikan bebas dari deforestasi dan tidak mempengaruhi kelestarian hutan.
Adapun, Indonesia dan Uni Eropa resmi menandatangani penyelesaian substansial perundingan IEU-CEPA hari ini, Selasa (22/9/2025), di Bali.
Uni Eropa sendiri merupakan mitra dagang terbesar kelima bagi Indonesia dengan total nilai perdagangan yang terus menunjukkan tren positif yang mencapai US$30,1 miliar pada 2024. Neraca perdagangan antara kedua pihak juga mencatatkan surplus bagi Indonesia dengan peningkatan signifikan dari US$2,5 miliar pada 2023 menjadi US$4,5 miliar pada 2024.
(mfd/yan)





























