Logo Bloomberg Technoz

Dia menyatakan, gangguan operasional tersebut terjadi secara signifikan hingga memicu kekhawatiran pasokan dan berpotensi mendorong harga tembaga global naik.

Meskipun terdapat insiden tersebut, Wahyu menilai produsen tembaga utama lainnya seperti Cile justru memproyeksikan peningkatan produksi. Dia menyebut, Cile selaku produsen tembaga terbesar di dunia menargetkan produksi nasional sebesar 6 juta ton pada tahun 2027.

“Kenaikan produksi dari Codelco dan tambang Escondida milik BHP menunjukkan bahwa pasokan global masih relatif kuat, yang bisa menekan harga,” tegas dia.

Pabrik tembaga./dok. Bloomberg

Selain itu, Wahyu memandang terdapat penurunan produksi tembaga di China yang juga menjadi konsumen tembaga terbesar di dunia. Menurut dia, hal ini mengimbangi peningkatan pasokan dari Cile dan berpotensi mendorong harga naik karena ketatnya pasokan.

Di sisi lain, Wahyu menilai permintaan tembaga dari sektor energi hijau akan terus meningkat. Sebab, tembaga merupakan komponen penting dalam produksi kendaraan listrik, panel surya, turbin angin, hingga infrastruktur lainnya.

“Kenaikan permintaan dari sektor ini memberikan dukungan kuat bagi harga tembaga dalam jangka panjang,” ungkap Wahyu.

Proyeksi Harga Tembaga

Wahyu memprediksi, harga tembaga global berpotensi menguji level US$10.500 dalam waktu dengan dengan nilai resistance terdekat di level US$10.250 per ton. Jika level tersebut tertembus, maka tembaga akan menguji resistance berikutnya di level US$10.500 per ton.

Sementara itu, level support terdekat tembaga diprediksi di kisaran US$9.800 per ton. Wahyu memprediksi jika harga tembaga anjlok ke level itu, maka nilai berikutnya yang akan diuji pada kisaran US$9.650 per ton. 

Outlook jangka pendek cenderung bullish atau menguat. Gangguan pasokan dari Freeport dan pelemahan dolar AS akan terus menjadi katalis positif. Harga berpotensi menguji level US$10.500,” ungkap Wahyu.

Lebih lanjut, dalam jangka menengah atau 3 hingga 6 bulan ke depan, Wahyu menilai harga tembaga dunia akan terus menguat seiring tren transisi energi global dan tren kebijakan The Fed yang lebih dovish.

Secara teknikal, lanjut dia, level resistance utama berada di US$10.800, disusul US$11.000, dan US$12.000. Sementara itu, area support berada di US$9.500, kemudian US$9.200, dan yang lebih dalam di kisaran US$8.150.

“Tembaga dipandang sebagai 'emas' baru dalam ekonomi hijau, dengan permintaan jangka panjang yang solid,” pungkasnya.

Lembaran katoda tembaga yang baru terbentuk di gudang./Bloomberg-Bartek Sadowski

Sebelumnya, tembaga berada di zona bullish di atas US$10.000/ton pada Selasa (16/9/2025), saat pasar mengantisipasi pemangkasan suku bunga acuan oleh Federal Reserve (The Fed) untuk pertama kalinya sejak Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih.

Kala itu, tembaga diperdagangkan di harga US$10.186/ton atau menguat 1,18% dari penutupan Senin (15/6/2025) di London Metal Exchange (LME).

Ekspektasi suku bunga yang lebih rendah dari bank sentral Amerika Serikat (AS) cenderung mendukung komoditas dengan meningkatkan permintaan dan melemahkan dolar, sehingga membuatnya lebih terjangkau bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.

Adapun, pada Rabu (17/9/2025) The Fed memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke kisaran target 4%-4,25%. 

Setelah itu, tembaga dilego di harga US$9.989 di London Metal Exchange (LME) pada penutupan Jumat (19/9/2025), menguat 0,49% dari penutupan hari sebelumnya.

(azr/yan)

No more pages