Beleid anyar ini sekaligus mencabut Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 yang disahkan pada 24 Februari 2025 lalu. Aturan yang disebut terakhir awalnya menetapkan HPM sebagai acuan transaksi penjualan mineral.
Kendati demikian, HPM tetap menjadi dasar perhitungan untuk pengenaan perpajakan dan pengenaan iuran produksi.
Ronald mengatakan sebagian penambang bauksit saat ini masih menahan untuk mengirim pasokan bahan baku ke smelter alumina selepas beleid itu terbit.
Dia beralasan sejumlah smelter belakangan telah meminta untuk merevisi kontrak harga jual beli bauksit setelah beleid anyar memberi ruang untuk pembelian bauksit di bawah HPM.
“Ini kan ambigu kalau smelter boleh menawar di bawah harga HPM penambang rugi, penambang harus membayar royalti berdasarkan HPM yang ditetapkan pemerintah,” tuturnya.
Persoalan asosiasi penambang bauksit itu juga dialami penambang bijih nikel selepas beleid anyar soal relaksasi ketentuan HPM terbit pertengahan bulan lalu.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) berpendapat revisi aturan terkait dengan kewajiban penggunaan HPM dalam transaksi penjualan mineral logam bakal berdampak terhadap penambang kecil bahkan terancam gulung tikar.
“Penambang kecil yang biaya produksinya tinggi bisa tidak bertahan. Bisa mendorong konsolidasi tambang ke pemain besar atau integrasi dengan smelter,” kata Anggota dewan Penasehat Pertambangan APNI, Djoko Widajatno saat dihubungi, Rabu (27/8/2025).
Sebelum beleid anyar terbit, penjualan mineral seperti nikel, bauksit, tembaga, wajib mengacu pada HPM sebagai harga dasar.
Namun, setelah Kepmen 268/ 2025 dikeluarkan maka penjualan mineral logam boleh dilakukan di bawah HPM, atau sesuai mekanisme pasar/negosiasi, tetapi perhitungan royalti dan PNBP tetap menggunakan HPM.
Adapun, penetapan harga mineral acuan akan dilakukan pada tanggal 1 dan tanggal 15 setiap bulan berjalan.
(naw)
































