Logo Bloomberg Technoz

“Untuk sementara volume realokasi tersebut cukup, namun seiring waktu defisit gas pipa tersebut akan terus naik, sehingga perlu diantisipasi dalam program jangka menengah dan panjang,” kata Hadi ketika dihubungi, Senin (25/8/2025).

Dalam kaitan itu, dia berpendapat alokasi ekspor yang dialihkan untuk kebutuhan domestik dapat dialirkan menuju floating storage regasification unit (FSRU) Lampung dan FSRU Jawa Barat untuk memenuhi kebutuhan Jawa Barat.

Dia menjelaskan FSRU Lampung telah terhubung dengan jaringan pipa transmisi Pagardewa—Banten—Jabar. Sementara itu, FSRU Jawa Barat, telah terkoneksi dengan jaringan pipa Jakarta—Jabar.

“Sehingga dalam jangka pendek dari dua lini FSRU tersebut, shortfall gas bisa diatasi,” kata Hadi.

Sementara dalam jangka menengah–panjang, Hadi mendorong pemerintah membangun infrastruktur penyaluran gas terintegrasi berupa FSRU dan jaringan pipa transmisi yang terintegrasi dengan Pipa Gresik—Semarang—Cirebon di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Menurut dia, infrastruktur penyaluran gas tersebut akan secara optimal menyalurkan pasokan dari kilang gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) Bontang, kilang LNG Tangguh, fasilitas LNG terapung (FLNG) Kasuri, serta proyek Masela dan South Andaman ketika sudah rampung.

“Selanjutnya disambung dengan Virtual Pipeline dengan modul MS [mini scale], LNG Truck dan CNG [compressed natural] Truck untuk kawasan industri nonpipa dan industri horeka atau hotel, restoran dan kafe,” ungkap dia.

Selanjutnya dalam jangka panjang, Hadi memandang pemerintah perlu menginstruksikan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara dan PT Pertamina (Persero) untuk mengeksplorasi sumber gas baru agar masalah pengetatan pasokan gas tak kembali terulang.

Dia menjelaskan, dari total 120 cekungan atau basin yang dimiliki Indonesia, baru sekitar 60 cekungan yang dieksplorasi dan dieksploitasi.

“Masih ada 60 basin atau cekungan baru yang perlu dieksplorasi lebih lanjut,” tegas Hadi.

Potensi Defisit

Hadi menyatakan pernah melakukan penelitian terkait dengan potensi defisit gas di Jawa Barat. Dalam kajian tersebut, defisit gas pipa di Jawa Barat bisa menembus 250 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd) dalam beberapa tahun ke depan.

Angka itu, kata Hadi, telah memperhitungkan potensi kekurangan dari pasokan gas pada jaringan yang tersedia dan kebutuhan gas di area baru yang belum tersambung pipa dengan asumsi hanya 50% dari kebutuhan tersebut yang akan terpenuhi.

“Defisit gas pipa plus potensi kebutuhan gas nonjaringan [belum ada pipa] dengan asumsi chance factor 50%, sampai pada posisi 250 MMscfd,” Hadi menegaskan.

Untuk diketahui, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) resmi menyalurkan 27 bbtud kuota ekspor gas Medco untuk kebutuhan domestik pada Jumat (22/8/2025).

Perjanjian swap multi-pihak itu dilakukan dengan beberapa kontraktor hulu migas dan pembeli. Gas yang dialihkan, akan diperuntukkan untuk memenuhi pasokan PGN, yang lantas akan dialirkan ke industri penerima HGBT.

Kepala SKK Migas Djoko Siswanto menjelaskan volume gas sebesar 27 bbtud gas tersebut berasal dari West Natuna Gas Supply Group yang akan dipasok ke PGN, serta pengalirannya dilakukan oleh Medco E&P Grissik Ltd. dan PetroChina International Jabung Ltd.

Adapun, perjanjian tersebut melibatkan sejumlah pihak, yakni; West Natuna Supply Group yakni Medco E&P Natuna Ltd., Premier Oil Natuna Sea B.V., Star Energy (Kakap) Ltd.; South Sumatra Sellers yakni Medco E&P Grissik Ltd., PetroChina International Jabung Ltd.; PT Pertamina (Persero), PGN, Sembcorp Gas Pte Ltd., dan Gas Supply Pte Ltd.

Sebelumnya, sejumlah industri mengeluhkan terjadi pengetatan pasokan gas bumi dari PGN untuk program HGBT.

Mereka memprotes perusahaan pelat merah itu, yang membatasi volume penyaluran HGBT dan mengenakan surcharge atau biaya tambahan yang tinggi pada Agustus lantaran suplai gas harus dialihkan ke regasifikasi LNG.

Manajemen sempat menyatakan terjadi keadaan darurat sejak 15 Agustus 2026, tetapi tak menjelaskan tenggat kondisi tersebut. Usai pengumuman itu, industriawan dari sektor penerima HGBT melaporkan terjadi penyusutan pasokan gas dari PGN.

Mereka juga mengeluhkan adanya pembatasan volume penggunaan HGBT menjadi hanya 48% dari alokasi. Sementara itu, sisa kebutuhan gas sebesar 52% harus dipenuhi dengan pasokan regasifikasi LNG dengan biaya tambahan yang tinggi dari harga dasar.

(azr/wdh)

No more pages