Lebih lanjut, Komaidi mengungkapkan Reforminer Institute pernah melakukan riset terkait daya saing industri dan harga gas murah atau HGBT hanya menjadi satu dari total 14 faktor penentu.
Bahkan, kata dia, jika harga gas yang dibeli oleh industri diturunkan hingga gratis, tidak terdapat jaminan bahwa daya saing industri tersebut akan terungkit.
“Jadi harus dilihat lebih utuh satu per satu, apakah ini perlu dilanjutkan apa tidak,” tegasnya.
Ubah Insentif
Menurut dia, pemerintah perlu mengubah insentif yang diberikan kepada industri untuk memenuhi kebutuhan gas murah.
Dalam hal ini, dia menyarankan agar pemerintah memberikan insentif fiskal dan nonfiskal kepada sektor industri secara langsung, bukan mengintervensi harga gas yang dibelinya.
“Kalau untuk memberikan insentif, instrumennya banyak. Bisa insentif fiskal–nonfiskal. Namun, poinnya tidak melalui kebijakan yang membawa risiko ke banyak pihak,” ungkap Komaidi.
Biaya yang tinggi, menurut Komaidi, menjadi salah satu faktor terjadinya gangguan pasokan gas milik PT Pertamina Gas Negara (Persero) Tbk. (PGAS) PGN yang terjadi beberapa waktu lalu.
Dia berpendapat sumber pasokan gas bumi di wilayah Jawa dan Sumatra sempat menurun, sehingga perlu mengalihkan pasokan gas bumi dari wilayah lain yang lebih mahal. Terlebih, gas tersebut harus diubah terlebih dahulu dalam bentuk gas alam cair atau liquified natural gas (LNG).
Selain itu, infrastruktur pipa gas yang belum mumpuni dipandang Komaidi sebagai salah satu penyebab tingginya biaya angkut gas untuk industri tersebut.
“Saya kira pertaruhannya tidak hanya sekadar volume, tetapi kapasitas fiskal,” pungkasnya.
Untuk diketahui, sejumlah pelaku usaha mengeluhkan terjadi pengetatan pasokan gas bumi untuk program HGBT. Mereka memprotes PGAS yang membatasi volume penyaluran HGBT dan mengenakan surcharge atau biaya tambahan yang tinggi pada Agustus.
Kebijakan pembatasan volume penggunaan HGBT dan biaya tambahan yang tinggi ditempuh PGN dengan alasan terjadi penurunan pasokan gas di hulu, yang berdampak pada penyaluran gas untuk sementara waktu bagi pelanggan di Jawa Barat dan sebagian wilayah Sumatra.
Dalam surat resmi PGN bernomor 048800.PENG/PP/PDO/2025, manajemen menyatakan keadaan darurat tersebut terjadi sejak 15 Agustus 2025, tetapi tidak dijelaskan tenggat kondisi darurat itu.
Perusahaan hanya menyatakan keadaan kahar tersebut diberlakukan “sampai dengan dinyatakan aman dan normal kembali.”
Usai pengumuman keadaan darurat tersebut, industriawan dari sektor-sektor penerima HGBT ramai-ramai melaporkan pasokan gas dari PGN menyusut.
Mereka juga mengeluhkan adanya pembatasan volume penggunaan HGBT menjadi hanya 48% dari alokasi.
Sementara itu, sisa kebutuhan gas sebesar 52% harus dipenuhi dengan pasokan regasifikasi LNG dengan biaya tambahan yang tinggi dari harga dasar.
Mendengar keluhan pelaku industri, Kementerian Perindustrian pun berang. Melalui juru bicaranya, Febri Hendri Antoni Arief, Kemenperin menggarisbawahi bahwa HGBT merupakan keputusan Presiden, sehingga tidak seharusnya ada yang menaikkan harga apalagi membatasi pasokan.
“Tidak seharusnya ada pihak atau lembaga yang mencoba melakukan subordinasi terhadap perintah Presiden tersebut dalam bentuk menaikkan harga di atas US$6,5 dan membatasi pasokannya,” kata Febri melalui siaran pers kementerian, dikutip Jumat (15/8/2025).
Febri membeberkan surcharge yang ditanggung industri akibat pembatasan pasokan gas oleh PGN itu mencapai US$16,77/MMBtu, sangat jauh dari HGBT.
"Kenaikan harga atau berkurangnya pasokan HGBT akan langsung menggerus margin keuntungan, menurunkan utilisasi pabrik, dan dalam jangka panjang menekan minat investor,” kata dia.
Dalam perkembangannya, PGN mengumumkan bahwa pasokan gas bumi yang dialirkan ke wilayah Jawa Barat telah kembali normal, setelah sebelumnya sempat tersendat akibat pasokan dari hulu mengalami permasalahan.
Akan tetapi, PGAS tak menjelaskan apakah pasokan gas yang disalurkan ke wilayah Sumatra telah kembali normal atau masih terkendala.
Sekadar catatan, pemerintah mematok HGBT hanya sekitar US$6,5—US$7 per million british thermal unit (MMBtu) untuk 7 sektor industri antara lain pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Amanat itu tertuang dalam Kepmen ESDM No.76/2025. Dalam Kepmen tersebut, HGBT dibedakan berdasarkan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar sebesar US$7/MMBtu dan untuk bahan baku sebesar US$6,5/MMBtu.
(azr/wdh)

































