"Kebijakan [pajak windfall profit sektor eksekutif] ini dikenakan hanya ketika ada laba tak terduga akibat lonjakan harga selama berturut-turut karena volatilitas harga. Dengan merancang threshold keuntungan yang jelas, kebijakan ini tidak menumpuk dengan PPh Badan dan terhindar dari double counting," lanjut laporan itu.
Kemudian, ada juga potensi penerimaan dari pajak penghilangan keanekaragaman hayati [biodiversity loss tax]; pengakhiran insentif pajak pro konglomerat Rp137,4 triliun; dan juga penurunan tarif PPN dari 11% ke 8% senilai Rp1 triliun.
"Selain itu, penghapusan insentif pajak pro konglomerat dan penyesuaian tarif PPN ke arah yang lebih rendah namun adil secara sosial, turut memperkuat skema ini," papar laporan tersebut, yang juga disunting oleh Media Wahyudi Askar hingga Bhima Yudhistira.
"Dengan demikian, negara sangat mungkin untuk menumbuhkan penerimaan tanpa harus memperbesar beban kelompok rentan."
(ain)































