Dalam kaitan itu, dia menilai kondisi tersebut tidak adil karena masyarakat yang membeli di ritel modern merupakan kalangan menengah ke atas.
Lebih jauh, dia berpandangan kondisi tersebut sangat bertentangan dengan Undang-undang karena seharusnya masyarakat memerlukan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau. Sementara tugas negara adalah menyediakan pangan dengan harga yang terjangkau.
“Jadi, tidak fair. Di pasar modern masyarakat mendapatkan harga yang relatif murah. Tapi di pasar tradisional masyarakat mendapatkan harga yang relatif mahal,” jelasnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan Perum Bulog dapat segera mendistribusikan beras di pasaran, khususnya bagi cadangan beras yang bau apek. Menurutnya, Badan Pangan Nasional (Bapanas) dapat menunda Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras.
“Jadi orang boleh lah [jual beras] tidak harus memenuhi semua persyaratan, beberapa persyaratan seperti butir patah, bau apek. Jadi itu bisa diproses lagi, tapi memprosesnya karena ada peraturan tadi jadi dilarang memproses yang bau apek. Akhirnya ketersediaan beras sebagai pasokan nanti berkurang. Jadi [Perbadan]ini harus cabut,” jelasnya.
Cabut HET beras premium
Di sisi lain, Yeka juga menyarankan agar pemerintah dapat menghapus HET beras premium sehingga pihak swasta dapat menyediakan beras sesuai dengan mekanisme pasar.
Pemerintah, kata dia, bisa mengevaluasinya dengan melakukan operasi pasar dan menyalurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) ketika harga beras sudah sangat mahal.
Selain itu, Ombudsman menyarankan pemerintah dapat mengutamakan langkah ultimum remedium, yakni hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum.
“Tolong bijaksana, ini beras, sebelumnya pemerintah tidak melakukan pembinaan dan pengawasan. Tiba-tiba sekarang langsung diberlakukan [penegakan hukum] bagi pelau usaha, cemas,” ucapnya.
Bagaimanapun, kata dia, pemerintah seharusnya bisa mengingatkan pelaku usaha, seperti kandungan menir yang seharusnya 5% namun dalam praktiknya 5,5% atau hanya selisih 0,5%.
“Tinggal diingatkan saja, asal tidak mengurangi bobot berasnya kecuali misalnya beras 5 kg dijual 4 kg, itu penipuan. Kalau di 5 kg itu ada 5% berarti sekitar 25 gram butir menirnya lantas ternyata setelah dicek misalnya ada 30 gram. Oh ini salah melanggar aturan, tapi apa artinya melanggar aturan itu jika pada akhirnya kita dihadapkan dengan kelangkaan beras seperti sekarang ini,” ungkap Yeka.
(ain)






























