Logo Bloomberg Technoz

Kebijakan itu diharapkan dapat mengerek harga jual mobil EV Tanah Air hingga akhirnya dapat bersaing dengan mobil internal combustion engine atau mobil yang menggunakan bahan bakar sebagai penggerak.

“Namun demikian prioritas utama adalah mengutamakan sumber daya alam yang dimiliki, selanjutnya seiring sejalan teknologi lain bisa dikembangkan pula,” tegasnya.

Pangsa CATL dalam pasar baterai EV global./dok. Bloomberg

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center For Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak menilai positif rencana pemerintah memberikan insentif ke pabrikan yang menggunakan nickel maganese cobalt (NMC) untuk meningkatkan daya serap nikel domestik.

Menurut dia, meskipun pasokan bijih nikel Indonesia melimpah namun tren pengembangan baterai EV justru mengarah ke teknologi baterai berbasis litium. Ali memandang kebijakan tersebut dapat memengaruhi pengembangan industri EV RI dalam jangka panjang.

“Jika hanya nikel yang mendapatkan prioritas, tentu menjadi kurang kondusif dalam jangka panjang. Dampaknya tentu kurang baik bagi industri EV ke depan,” kata Ali ketika dihubungi, dikutip Jumat (8/8/2025).

Dia menilai insentif perpajakan tersebut seharusnya tak terbatas hanya bagi pabrikan yang mengadopsi baterai NMC. Ali menyatakan, pemerintah harus memperluas insentif perpajakan tersebut ke baterai berteknologi lain yang tengah berkembang di pasaran.

Sebelumnya, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) membuka peluang untuk mengetatkan perizinan pembangunan pabrik baterai berbasis LFP, demi mendorong penggunaan baterai berbasis nikel atau NMC.

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal BKPM Nurul Ichwan menyebut, meskipun peluang pengetatan penerbitan izin pabrik LFP terbuka lebar, pemerintah tetap tidak bisa serta-merta melakukan hal tersebut.

Dia menegaskan pabrikan baterai LFP tetap memberikan dampak positif bagi peralihan kendaraan berbasis bahan bakar fosil ke kendaraan berbasis baterai atau EV.

“Logikanya begitu ya [perizinan pabrik baterai LFP diketatkan], karena kita ingin lebih menghilirkan yang nikelnya,” kata Nurul ditemui awak media, di sela International Battery Summit 2025, Rabu (6/8/2025).

“Kita akan lebih mendorong kepada NMC, tetapi kita enggak bisa melarang sama sekali LFP,” tuturnya.

Lebih lanjut, meskipun pengetatan penerbitan izin pabrik LFP menimbulkan dilema, BKPM akan tetap mengkaji potensi kerugian yang ditimbulkan dari baterai LFP ketika masa pakainya berakhir.

“Namun, kita harus mengkaji lagi, setelah 7—10 tahun ke depan, waste-nya ini akan memunculkan kerugian seberapa besar juga,” tuturnya.

Terpisah, Analis Kebijakan Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kemenkeu Riznaldi Akbar menjelaskan rencana insentif perpajakan tersebut bisa diberikan untuk pabrikan EV maupun pabrikan baterai sebab keduanya melingkupi ekosistem baterai terintegrasi di dalam negeri.

“Itu pasti kan insentif pajak ya. Nah, biasanya itu pembebasan bea masuk atau PPnBM DTP [pajak penjualan barang mewah ditanggung pemerintah],” kata Riznaldi kepada awak media, di sela International Battery Summit 2025, Rabu (6/8/2025).

Dia menegaskan pengembangan ekosistem mobil listrik menjadi salah satu dari proyek prioritas yang dikaji oleh DJSEF.

(azr/naw)

No more pages