"Apalagi hal ini berpotensi merusak Outstanding Universal Value (OUV) TNK sebagaimana yang telah diingatkan oleh UNESCO. Bila ingin membangun, sebaiknya dilakukan di luar kawasan taman nasional,” sambungnya.
Evita mengungkapkan bahwa pemberian izin ini dimungkinkan setelah terjadinya perubahan zonasi TNK pada tahun 2012, dari zona konservasi menjadi zona pemanfaatan yang diduga saat itu tidak dilaporkan kepada UNESCO.
Evita juga menilai, evaluasi ulang terhadp izin dan perubahan zonasi adalah hal wajar. Jika terbukti menganggu habitat Komodo, maka zonasi seharusnya dikembalikan ke zona inti atau zona rimba.
"Artinya, tidak boleh ada pembangunan resort atau fasilitas wisata dalam kawasan taman nasional, dan seluruh aktivitas semestinya diarahkan ke luar kawasan," tegasnya.
Evita mengingatkan, bahwa hewan Komodo adalah satwa liar yang bergerak bebas tanpa mengenal batas zonasi. Jika pembangunan dilakukan secara masif di dalam kawasan, menurutnya, ruang hidup Komodo akan semakin terdesak karena peningkatan aktivitas manusia.
"Oleh karena itu, penataan ruang harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh sembarangan diubah-ubah. Kita mendengar bahwa UNESCO sangat prihatin terhadap perubahan zonasi tahun 2012 tersebut,” ungkap Evita.
Evita juga mendorong pemerintah melakukan audit independen terhadap seluruh proyek pariwisata yang sedang berjalan di TNK. Ia menekankan bahwa setiap proyek harus sejalan dengan standar perlindungan situs warisan dunia UNESCO.
“Sekali lagi, saya minta agar suara UNESCO benar-benar diperhatikan. Jangan sampai status warisan dunia Komodo ini dicabut karena aktivitas bisnis yang mengancam kelestarian komodo serta nilai alam dan budaya kawasan ini,” pungkas Evita.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa pembangunan fasilitas wisata oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo saat ini masih dalam tahap konsultasi publik.
“Terkait dengan rencana tersebut, saat ini masih pada tahap konsultasi publik atas dokumen Environmental Impact Assessment (EIA) sesuai standar World Heritage Centre (WHC) dan IUCN,”ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Kehutanan, Krisdianto, dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (06/08/2025).
Lebih lanjut, Krisdianto mengatakan pembangunan fasilitas pariwisata ini memang telah mengacu pada dokumen Environmental Impact Asessment (EIA) sesuai standar World Heritage Centre (WHC) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Kris menegaskan tanpa adanya persetujuan dokumen tersebut, bahwa pemerintah Indonesia pun tak memberikan lampu hijau izin untuk pembangunan ini.
“Pemerintah Indonesia tidak akan mengizinkan pembangunan apa pun sebelum dokumen EIA ini disetujui oleh WHC dan IUCN, sebagai bagian dari komitmen terhadap perlindungan OUV situs warisan dunia,” jelas Krisdianto.
(dec/spt)





























