Logo Bloomberg Technoz

Namun, Aramco masih kesulitan menghasilkan kas yang cukup untuk membiayai pembagian dividen tersebut.

Penurunan dividen dan lemahnya harga minyak turut menekan pendapatan pemerintah Saudi, di tengah ambisi Putra Mahkota Mohammed bin Salman untuk mereformasi perekonomian negara secara besar-besaran.

Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (Sumber: Bloomberg)

Rata-rata harga minyak Brent di London tercatat hampir US$20 lebih rendah per barel pada kuartal kedua dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Saat ini, harga Brent berada di bawah US$70 per barel, jauh dari level US$90 yang menurut Dana Moneter Internasional (IMF) dibutuhkan Arab Saudi untuk menyeimbangkan anggaran negaranya.

Dividen total untuk kuartal ini tercatat US$21,36 miliar—hampir tidak berubah dari kuartal sebelumnya, namun jauh lebih rendah dibandingkan US$31 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Penurunan ini disebabkan oleh pengurangan signifikan pada komponen dividen berbasis kinerja setelah Aramco menyelesaikan distribusi laba besar dari tahun 2022.

Arus kas bebas—yakni dana sisa dari operasional setelah investasi dan pengeluaran—turun 20% menjadi US$15,2 miliar pada kuartal kedua.

Jumlah ini tidak cukup untuk menutup pembayaran dividen. Total utang bersih meningkat menjadi US$30,8 miliar dari US$24,7 miliar pada akhir kuartal pertama.

Untuk menutup celah tersebut, Aramco meningkatkan aktivitas pinjaman, yang mendorong rasio utang terhadap modal atau gearing ratio naik menjadi 6,5% dari 5,3% tiga bulan sebelumnya.

Utang Saudi Aramco melonjak. (Bloomberg)

Meski begitu, level ini masih tergolong rendah jika dibandingkan perusahaan minyak Barat, seperti Shell Plc yang memiliki rasio hingga 19%.

Aramco meningkatkan produksi dalam beberapa bulan terakhir sebagai bagian dari strategi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya yang dipimpin Saudi.

Pada September mendatang, produksi harian diperkirakan mencapai hampir 10 juta barel per hari, naik satu juta barel dari April.

CEO Aramco Amin Nasser menyatakan optimisme terhadap permintaan minyak.

“Fundamental pasar tetap kuat, dan kami memperkirakan permintaan minyak pada paruh kedua 2025 akan naik lebih dari 2 juta barel per hari dibandingkan paruh pertama,” ujarnya dalam pernyataan resmi.

Namun, sejumlah analis memperkirakan pasar tetap rapuh. Produksi OPEC+ yang lebih tinggi, potensi perlambatan ekonomi di China, serta lonjakan pasokan dari kawasan Amerika Serikat berisiko menciptakan surplus besar—yakni sekitar 2 juta barel per hari pada kuartal keempat, menurut proyeksi Badan Energi Internasional (IEA).

Saham Aramco tertinggal dibandingkan perusahaan minyak Barat sepanjang tahun ini.

Exxon Mobil Corp. dan Chevron Corp., dua raksasa energi AS, berhasil melampaui ekspektasi laba pada kuartal kedua setelah mencatat kenaikan produksi.

Di Eropa, Shell Plc juga melaporkan kinerja yang lebih baik dari perkiraan, sementara TotalEnergies SE justru meleset dari target analis.

(bbn)

No more pages