Logo Bloomberg Technoz

Pada akhir Juni lalu, rupiah ditutup di level Rp16.238/US$ di pasar spot, yang menjadi level penutupan bulanan terbaik rupiah sejak Desember 2024.

Kinerja rupiah pada bulan ini yang kehilangan nilai sampai 217 poin tersebut, menjadi yang terburuk setelah Februari silam ketika rupiah ambles hingga 1,72%.

Di Asia, bila melihat capaian selama Juli saja, rupiah merupakan valuta berkinerja terburuk keenam, setelah yen yang melemah 3,61%, lalu peso 3,43%, won Korea melemah 2,67%, rupee turun 2,12% dan dolar Singapura 1,8%.

Kinerja rupiah lebih buruk bila dibanding ringgit yang melemah 1,16% dan baht yang bahkan 'cuma' turun 0,4% selama bulan ini.

Selama Juli, indeks dolar yang mengukur kekuatan the greenback terhadap enam mata uang utama dunia yakni DXY, menguat 2,95%.

Arus modal asing keluar

Tekanan yang dihadapi oleh rupiah sepanjang Juli terjadi ketika pemodal asing membukukan posisi net sell di saham senilai US$ 434,7 juta sampai perdagangan 30 Juli.

Sementara di pasar surat utang negara, selama bulan ini hingga data terakhir 29 Juli lalu, asing mencetak net buy sebesar US$ 914,9 juta.

Di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), asing tercatat terus melepas posisi di mana selama tahun ini hingga data 24 Juli yang dirilis oleh Bank Indonesia, asing membukukan jual neto Rp60,19 triliun. 

Pelemahan rupiah hari akhirnya juga berimbas pada tekanan jual yang membesar di pasar SUN. Tingkat imbal hasil alias yield mayoritas tenor SUN melesat naik terutama tenor pendek.

Yield 1Y naik 4,2 bps, sedangkan tenor 2Y naik 3,5 bps sampai sore ini. SUN tenor 5Y naik 2,9 bps yield-nya, bersama tenor 10Y yang juga naik 1,9 bps.

Sementara tenor panjang 20Y turun 1,1 bps bersama tenor 40Y yang terpangkas imbal hasilnya sebanyak 3,9 bps.

Tekanan jual juga membesar di pasar saham. IHSG kehilangan 0,85% sampai jelang penutupan pasar hari ini, akibat terbebani arus jual yang melanda saham-saham perbankan seperti BBRI, BMRI, BBCA. Saham lain seperti CDIA, ANTM, BREN juga tertekan membebani indeks.

Sentimen pasar sepanjang hari cenderung negatif terseret situasi di pasar global pasca data ekonomi AS dirilis ditambah sinyal hawkish dari hasil pertemuan Federal Reserve dini hari tadi.

Pada saat yang sama, data ekonomi dari Tiongkok juga membebani pergerakan aset di pasar.

Aktivitas pabrik di China secara tak terduga melemah pada Juli, mencatat level terendah dalam enam bulan, meskipun Tiongkok dan AS telah sepakat menunda pemberlakuan tarif baru.

Melemahnya ekspor serta lemahnya permintaan domestik menjadi sinyal awal tekanan yang dihadapi ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Biro Statistik Nasional China (NBS) pada Kamis (31/7) melaporkan bahwa indeks manajer pembelian (PMI) sektor manufaktur resmi turun ke angka 49,3 dari 49,7 pada Juni.

Angka ini juga lebih rendah dari perkiraan median ekonom dalam survei Bloomberg yang memperkirakan 49,7. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi.

Sementara itu, indeks non-manufaktur yang mencakup sektor konstruksi dan jasa juga turun ke 50,1 dari 50,5 pada bulan sebelumnya. Angka ini sedikit di bawah proyeksi 50,2.

Kabar lain dari Asia juga mempengaruhi pergerakan pasar hari ini yaitu keputusan Bank of Japan menahan suku bunga acuan. Keputusan itu memang sesuai ekspektasi pasar. Namun, pasar mencermati kenaikan proyeksi inflasi lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.

Ini merupakan sebuah sinyal bahwa bank sentral semakin dekat pada kemungkinan kenaikan suku bunga. Meski demikian, BOJ tetap menyampaikan kehati-hatian terkait dampak kebijakan tarif AS terhadap perekonomian Negeri Sakura.

BOJ menahan suku bunga acuan di level 0,5% setelah pertemuan kebijakan selama dua hari, sebagaimana tercantum dalam pernyataan resmi pada Kamis (31/7). Keputusan ini diambil secara bulat oleh sembilan anggota dewan kebijakan, dan telah diprediksi oleh seluruh 56 ekonom yang disurvei sebelumnya.

(rui)

No more pages