Dari ayat pasal tersebut, dia memperkirakan pemerintah akan membuat PP baru nantinya. Ruby juga menyebut AS kemungkinan telah membaca UU PDP, khususnya Pasal 56 ayat (5).
"Pasal 56 ini secara keseluruhan ya ada lima ayat dan ada celah di Pasal 56 ayat [5]-nya. Ini bisa keluar PP [baru]," ujar Ruby.
"Nah itu ya, jadi kayak semacam punya ruang, pintar juga Amerika, berarti [mungkin] udah baca dia," ungkap dia seraya ditutup ketawa kecil.
Menurut pendiri sekaligus CEO PT Digital Forensic Indonesia (DFI) itu, jika AS-RI menyetujui kesepakatan tersebut, Indonesia akan melakukan penyesuaian (adjustment) terhadap PP 71/2019 dan UU PDP. Namun, Ruby mempertanyakan sampai mana persetujuannya.
"Tetapi ini namanya kan kompromi, bargain [tawar-menawar] karena masalah tarif kita," jelas dia.
Ruby juga bilang bakal menunggu detail kesepakatannya, seperti apa final dan pelaksanaannya. Dia pun menekankan bahwa RI harus dapat memastikan UU PDP ditegakkan, walaupun data pribadi WNI ada di AS.
"Menurut saya, kita dengan negosiasi ini juga bisa mulai bahwa kalau Amerika aja bisa akses data kita, ya kita juga bisa akses data mereka dong. Utamanya nih untuk permintaan-permintaan data tertentu untuk ke penegak hukum," tegas Ruby.
Dia juga menilai Indonesia kerap belum optimal dalam memperoleh data-data dari pihak over-the-top (OTT) asing, sehingga mempersulit penegakan hukum di Tanah Air. Oleh karena itu, dengan adanya kesepakatan antara RI-AS, Indonesia bisa meminta bagian dari resiprositas atau timbal baliknya kepada Negeri Paman Sam tersebut.
Ruby menjelaskan ada dampak yang bakal diterima RI mengenai klausul transfer data WNI ke AS, yaitu kekurangan investasi dan kedaulatan data melemah. Dia memandang UU PDP berhasil diterapkan, tetapi tiba-tiba muncul kesepakatan tarif yang berdampak pada aturan tersebut.
"Otomatis dengan ini, kita berkaca kita harus mempunyai data center [pusat data] yang berkelas dunia serta kepastian hukum yang jelas di bidang teknologi, sehingga orang-orang ini tidak antipati yang seperti terjadi saat ini," harap Ruby.
Cloud Lokal Terancam
Dihubungi terpisah, pengamat sekuriti Vaksincom, Alfons Tanujaya memandang layanan cloud domestik akan terancam akibat adanya kesepakatan tarif AS-RI.
"Kasihan layanan cloud lokal. Tanpa pembebasan data ke US [Amerika Serikat] saja sudah setengah mati bersaing. Apalagi sekarang," tutur Alfons melalui keterangan tertulisnya.
Namun, dia tidak ambil pusing dengan kedaulatan data imbas dari kesepakatan komitmen transfer data pribadi RI ke AS. Pasalnya, data masyarakat Indonesia sudah ada di luar negeri lantaran terdapat layanan, seperti Google, WhatsApp, dan lain sebagainya.
"Apakah data disimpan di Amerika tidak aman dan menggadaikan kedaulatan Indonesia? Soal kedaulatan data, saya tidak berkomentar karena dengan layanan Google, WhatsApp, dan lainnya pun sebenarnya data kita sudah ada di luar negeri," beber Alfons.
Entitas Asing Akses Data
Salah seorang pakar keamanan siber, Pratama Persadha turut mengomentari klausul transfer data WNI ke AS. Dia menilai Indonesia memiliki potensi membuang sebagian kontrol data vital terhadap keamanan nasional.
"Dengan membuka kemungkinan aliran data pribadi ke luar negeri tanpa mekanisme yang ketat dan transparan, Indonesia berpotensi melepaskan sebagian kontrol atas data yang sangat penting bagi keamanan nasional dan pembangunan ekonomi digital jangka panjang," ujar Pratama kepada Bloomberg Technoz, Rabu (23/7/2025).
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC tersebut memproyeksikan bahwa seusai data pribadi WNI berada di luar negeri, terutama di AS—dengan sistem perlindungan yang belum setara dengan General Data Protection Regulation (GDPR) atau Peraturan Perlindungan Data Umum di Uni Eropa—kedaulatan negara atas data tersebut akan melemah.
Kedaulatan digital sendiri merupakan prinsip bahwa negara berhak mengatur, mengelola, dan melindungi seluruh aktivitas digital yang terjadi dalam yurisdiksinya termasuk data warganya.
"Data tersebut bisa diakses oleh entitas asing, termasuk badan intelijen atau perusahaan teknologi besar tanpa pengawasan penuh dari otoritas Indonesia," tukas Pratama.
(far/ros)

































