“Dengan data yang lebih mudah diakses secara internasional, risiko serangan siber dapat meningkat, termasuk pencurian data dan serangan ransomware,” terang Ardi.
Kedua, terkait ketergantungan teknologi. Maksud Ardi adalah dominasi teknologi asing dan pengaruh asing. Ketergantungan pada penyedia layanan teknologi asing bisa mengurangi kemandirian RI dalam pengelolaan data dan infrastruktur teknologi informasi.
“Pihak asing mungkin dapat mempengaruhi kebijakan dan praktik bisnis di Indonesia melalui kontrol atas data dan teknologi,” terang dia.
Alasan lain mengapa klausul transfer data WNI ke AS ini bisa berbahaya bagi Indonesia, antara lain terdapat implikasi ekonomi seperti persaingan usaha tidaseimbang hingga potensi kehilangan pendapatan pajak. Lantas kebijakan berdampak pada sosial dan budaya misalnya adanya pengaruh asing serta hilangnya kepercayaan publik.
Komitmen transfer data pribadi, lanjut Ardi, dapat berisiko pada dunia politik dalam negeri. Ia menyinggung kembali persoalan intervensi asing dan kepentingan nasional. Serta, terdapat regulasi yang tidak memadai, misalnya terkait kelemahan dalam perlindungan data dan ketidakpastian hukum.
Pada bagian lain, perjanjian internasional juga bisa menciptakan ketidakpastian hukum bagi perusahaan lokal terkait kewajiban mereka dalam mengelola dan melindungi data. “Meskipun Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) ada, implementasinya mungkin tidak cukup kuat untuk melindungi data dalam konteks internasional.”
Meskipun transfer data pribadi lintas bantas (cross border data transfer/CBDT) dimungkinkan dalam aturan atau regulasi hukum, tantangan dan risiko yang muncul memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan.
“Penting untuk memastikan bahwa ada regulasi yang ketat dan mekanisme perlindungan yang memadai untuk menjaga keamanan data dan melindungi kepentingan nasional Indonesia.”
Di sisi lain, Ardi mengatakan bahwa pangkal masalahnya bukan pada “apakah aliran data lintas batas diizinkan atau tidak”, melainkan pada “di bawah syarat dan ketentuan siapa aliran data itu diatur”. Diketahui UU PDP mengizinkan CBDT dengan serangkaian syarat ketat, yang memberikan “kendali” dan kedaulatan kepada RI.
"Sebaliknya, perjanjian perdagangan yang didorong oleh Amerika Serikat sering kali bertujuan untuk meminimalkan hambatan dan memaksimalkan kebebasan aliran data, yang dapat melucuti kendali dan kedaulatan tersebut,” pungkas Ardi.
Pakar telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi saat berbincang dengan Bloomberg Technoz menganalogikan Indonesia sebagai ‘rumah kaca’ bagi AS saat komitmen data telah disepakati kedua negara. Meskipun dalam konteks PDP, setiap orang/lembaga tetap harus mendapat persetujuan secara pribadi sebelum data berpindah.
“Kalau consent didapat, ya dampaknya data pribadi orang Indonesia dimiliki AS. Semua-semua bisa diketahui AS, termasuk data siapa saja yang bekerja sebagai tentara, polisi, kemudian riwayat kesehatan Presiden, Wapres, data keuangan atau rekening Anggota DPR, ya ujungnya adalah Indonesia laksana rumah kaca bagi AS.”
Alfons Tanujaya dari Vaksincom lebih mempersoalkan bagaimana perlakuan keamanan data ketimbang beradu argumen terkait kedaulatan Indonesia atas data yang bisa diakses AS. Perlindungan data seperti upaya enkripsi kuat hingga meminimalisir kebocoran.
Ia menambahkan, jika sudah dienkripsi dengan baik dan kuncinya disimpan dengan baik, itu secara teknis bakal aman mau disimpan di mana saja. “Jadi lokasi penyimpanan data tidak menentukan keamanan data. Tetapi kedisiplinan dan metode penyimpanan data itu yang menentukan keamanan data,” cerita Alfons.
Ia mempercayai hukum de facto di AS jauh lebih unggul dalam penegakan aturan termasuk aspek data meskipun Negeri Paman Sam ini belum punya sistem terstandarisasi seperti tertuang dalam General Data Protection Regulation (GDPR) secara de jure.
Pakar Keamanan Siber Pratama Persadha sebelumnya mengingatkan “Indonesia berpotensi melepaskan sebagian kontrol atas data,” sebagai salah dampak yang akan muncul saat kesepakatan transfer data pribadi berlaku. Apalagi dalam kaitan standarisasi perlindungan data dunia, AS belum masuk dalam pedoman GDPR.
Padahal, kedaulatan digital kini menjadi sangat strategis di era teknologi yang semakin melaju kencang. Data hari ini menjadi komoditas strategis yang setara dengan sumber daya alam (SDA). Dan, penting adanya sebuah lembaga otoritas yang selalu memonitor lalu lintas data, baik dilakukan pribadi, perusahaan lokal atau asing, hingga badan intelijen.
Pratama, yang juga berperan sebagai Chairman di CISSReC, mensinyalir ada peran Presiden Donald Trump dalam diplomasi demi menghadirkan keuntungan para perusahaan teknologi besar asal AS macam Google, Meta, Amazon, dan Microsoft, yang sangat bergantung pada data lintas batas. Hal yang terkesan bahwa Indonesia ‘tunduk’ pada kepentingan data AS.
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) RI Meutya Hafid sebelumnya menegaskan bahwa kesepakatan masih dalam tahap finalisasi. Hal ini mengklarifikasi soal klausul transfer data WNI ke AS. Ia sampaikan bahwa pembicaraan teknis masih akan berlangsung.
Kemkomdigi bilang bahwa kesepakatan perdagangan antara RI-AS yang diumumkan pada 22 Juli 2025 oleh Gedung Putih bukanlah bentuk penyerahan data pribadi secara bebas, melainkan menjadi pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur dalam tata kelola lalu lintas data pribadi lintas negara.
Kesepakatan terkait tarif dagang AS-Indonesia, lanjut Meutya, justru bisa menjadi dasar legal bagi perlindungan data pribadi WNI saat menggunakan layanan digital perusahaan Amerika seperti mesin pencari, media sosial, layanan cloud, dan e-commerce.
Adapun prinsip utama yang dijunjung adalah tata kelola data yang baik, pelindungan hak individu, dan kedaulatan hukum nasional. "Pemindahan data pribadi lintas negara diperbolehkan untuk kepentingan yang sah, terbatas, dan dapat dibenarkan secara hukum," kata Meutya.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi sehari sebelumnya telah menyampaikan bahwa transfer data sebagaimana kesepakatan RI-AS dalam ruang lingkup komersil bukan data pribadi. Lanjut Hasan Nasbi, komitmen pertukaran RI-AS justru penting dan melindungi dan menjamin data pribadi itu sendiri.
- Dengan asistensi Dovana Hasiana dan Whery Enggo Prayogi.
(wep)
































