Logo Bloomberg Technoz

“Jadi estimasi yang tadinya Rp160 triliun, 18 kilang skala kecil itu berdasarkan apa? Sudah dihitung semuanya? Karena seringkali ya itu, kalau sudah mulai mengerucut biayanya sudah mulai membengkak,” lanjut dia.

Risiko Mangkrak

Jika kajian-kajian prapembangunan tidak dilakukan secara cermat, Moshe khawatir proyek kilang 1 juta barel tersebut akan berujung mangkrak.

Apabila proses pembangunannya tersendat, apalagi sampai dihentikan, potensi masalah hukum pada kemudian hari pun akan menganga. Terlebih, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk proyek tersebut tidaklah kecil. 

“Sedangkan pemerintah sudah mulai keluar uang, sudah mulai pembebasan lahan, bangun ini bangun itu, ternyata ada cost overrun, itu tuh jadi merugikan. Distop enggak bisa, dibatalkan enggak bisa. Terus uangnya nanti ke mana? Bisa jadi blunder nanti,” tegas Moshe.

Moshe juga menilai BBM yang diproduksi kilang minyak berskala kecil atau sedang berpotensi memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan produksi dari kilang berskala besar.

Kilang berskala kecil biasanya dapat memproduksi BBM sekitar 50.000 hingga 10.0000 barel per hari (bph), sementara biaya produksinya memang lebih murah dari kilang berskala besar, tetapi tetap tak terbilang kecil.

Biaya produksi tersebut, menurutnya, harus dihitung pemerintah dengan menimbang berbagai aspek; termasuk lokasi kilang dan fasilitas pendukungnya.

Jika kalkulasi meleset, Moshe khawatir harga BBM yang dijual ke masyarakat justru lebih mahal dari hasil produksi kilang berskala besar.

“Kalau biayanya akhirnya tinggi [produksi] per barelnya, itu kan ujung-ujungnya jadi memengaruhi either harga si BBM itu sendiri yang dijual ke masyarakat atau [anggaran] subsidi pemerintah,” kata Moshe.

Sebaran 18 proyek hilirisasi dan ketahanan energi RI./dok. ESDM

Pemilihan Lokasi

Lebih lanjut, Moshe memandang rencana pembangunan kilang dan penyimpanan minyak berkapasitas 1 juta barel di 18 lokasi masih perlu dievaluasi lantaran akan dibangun di lokasi yang tak strategis, yakni mayoritas di luar Pulau Jawa.

Hal tersebut dinilai berpotensi menggelembungkan biaya logistik yang dikeluarkan untuk membawa pasokan minyak mentah ke kilang dan mendistribusikan hasil olahan kilang berupa BBM.

Dia pun menyebut potensi biaya logistik yang membengkak dipengaruhi mayoritas kebutuhan BBM di Indonesia berada di Pulau Jawa. Terlebih, kata dia, sekitar 60% populasi dan 80% ekonomi RI berada di Pulau Jawa.

“Jadi, sah-sah saja bagus kalau memang membuat kilang ini atau kilang skala kecil di berbagai penjuru Indonesia, which is bagus. Cuma ya memang harus diperhatikan keekonomiannya,” ucap Moshe.

“Logistik itu bukan juga hanya logistik suplai BBM-nya, offtaker-nya, tetapi juga suplai crude oil atau minyak mentahnya,” tegas dia.

Dengan demikian, dirinya kembali menggarisbawahi agar pemerintah mengkaji besaran nilai proyek tersebut agar tidak hanya bisa bermanfaat bagi masyarakat—dari sisi harga dan kualitas BBM — tetapi juga tidak merugikan kas negara.

Proyek kilang dan penyimpanan minyak berkapasitas 1 juta barel dengan investasi Rp160 triliun itu terungkap di dalam paparan Penyerahan Dokumen Pra Studi Kelayakan Proyek Prioritas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kepada BPI Danantara pada Selasa (22/7/2025).

Di dalam paparan tersebut disebutkan Satgas Percepatan Hilirisasi mencanangkan 3 proyek di sektor ketahanan energi dengan nilai investasi sebesar US$14,5 miliar atau sekitar Rp232 triliun. Ketiga proyek tersebut diharapkan dapat menyerap 50.960 tenaga kerja.

Rupanya, ketiga proyek ketahanan energi tersebut masih dibagi lagi menjadi dua kelompok; yaitu proyek kilang dan proyek penyimpanan minyak. Untuk proyek kilang, investasinya ditaksir mencapai Rp160 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 44.000 orang.

Sementara itu, proyek tanki penyimpanan minyak ditaksir mencapai Rp72 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 6.960 orang. Menurut paparan, kedua proyek tersebut—baik kilang maupun storage—disebar ke 18 lokasi di Indonesia.

Lokasi-lokasi tersebut a.l. Lhokseumawe, Sibolga, Natuna, Cilegon, Sukabumi, Semarang, Surabaya, Sampang, Pontianak, Badung (Bali), Bima, Ende, Makassar, Dongala, Bitung, Ambon, Halmahera Utara, dan Fakfak.

Kilang minyak./Bloomberg-Sebastian Castaneda

Dalam kesempatan berbeda pada Maret, Bahlil sempat mengatakan pemerintah tengah mempertimbangkan skenario membuat kilang berkapasitas kecil sekitar 60.000 bph, tetapi berjumlah banyak.

Skenario ini, menurut Bahlil, menelan investasi yang lebih ringan untuk tiap unitnya dibandingkan dengan membangun satu unit dengan kapasitas raksasa.

“Ada sekarang, [kilang] per spot ada yang per 60.000 bph. Nah, sekarang feasibility study finalnya lagi dibuat. Nah, itu jauh lebih murah. Kalau kilang per 60.000 bph itu jauh lebih murah, harganya sekitar US$600 juta—US$700 juta. Jadi kalau kita compile menjadi 500.000 bph itu tidak lebih dari US$6 miliar,” katanya ditemui di sela acara Pelepasan Mudik Bareng Sektor ESDM 2025, akhir Maret.

Skema tersebut, lanjut Bahlil, menggunakan metode pembangunan per titik atau spot. Dia menyebut saat ini pemerintah sedang melakukan studi terhadap negara-negara yang sudah memakai skenario tersebut, khususnya di wilayah Amerika Latin dan Afrika.

Dengan asumsi skenario tersebut, kata Bahlil, proyek kilang dengan kapasitas kumulatif 1 juta bph kemungkinan akan dibangun secara tersebar di banyak lokasi di Tanah Air.

“Iya, karena begini, negara kita ini kan negara kepulauan. Negara kepulauan yang memang kita harus mempertimbangkan aspek logistik. Nah, kita lagi menghitung apakah memang lebih ekonomis dan tepat di satu tempat, atau kita akan buat per spot-spot,” jelasnya.

(wdh)

No more pages