Pertumbuhan yang melaju dari komponen ini terutama didukung oleh peningkatan nilai giro rupiah yaitu dana masyarakat yang tersimpan di uang elektronik, serta tabungan rupiah yang bisa ditarik sewaktu-waktu. Keduanya masing-masing tumbuh 16,5% dan 5,9% pada Juni, lebih tinggi ketimbang Mei.
Sementara pertumbuhan uang kuasi lebih kencang lagi disokong oleh pertumbuhan nilai tabungan lainnya dan simpanan berjangka masing-masing sebesar 4,5% dan 10,5%. Sedangkan giro valas kembali positif dengan pertumbuhan 3,7% setelah pada Mei terkontraksi alias tumbuh negatif 2,9%.
Komponen yang mencatat perlambatan pertumbuhan pada Juni adalah uang kartal di luar bank umum dan bank rakyat (BPR), dengan pertumbuhan hanya 8,4% year-on-year.
Perlambatan itu diduga dipicu oleh tren digitalisasi pembayaran yang kian melaju, ketika volume transaksi memakai aplikasi mobile banking dan internet meningkat, begitu juga pemakaian QRIS.
Menurut pandangan David Sumual, Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk, peningkatan pertumbuhan uang beredar pada Juni sebagian lebih dipicu oleh penurunan jumlah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang beredar di pasar, hingga Rp84,45 triliun pada Juni.
Katalis lain adalah belanja Pemerintah RI yang mulai terakselerasi mencapai Rp 390,8 T, mencerminkan normalisasi dari kondisi awal tahun karena efisiensi anggaran. Faktor-faktor itu meningkatkan likuiditas domestik secara signifikan.
Namun, "Pertumbuhan uang beredar belum bisa menjadi cerminan membaiknya ekonomi, tetapi lebih ke kondisi likuiditas yang melonggar. PMI Manufaktur Indonesia masih berada dalam zona kontraksi, di angka 46,9 pada Juni," kata David pada Bloomberg Technoz, Rabu (23/7/2025).
Kredit masih lesu
Kendati peredaran uang secara umum lajunya telah mengakhiri tren perlambatan yang sudah berlangsung selama tiba bulan beruntun, laju penyaluran kredit perbankan nyatanya masih melanjutkan perlambatan.
Laporan yang sama mengungkapkan, penyaluran kredit pada Juni hanya tumbuh 7,6%, setelah bulan sebelumnya masih tumbuh 8,1%. Laju kredit pada Juni menjadi yang terendah sejak Maret 2022.
Pengucuran kredit perbankan ke korporasi melemah, cuma tumbuh 10,6% dari tadinya masih melaju 11,6%. Sementara pada nasabah perorangan penyaluran kredit tumbuh sedikit lebih baik jadi 4,2%.
Adapun pemberian kredit pada nasabah lainnya seperti Pemerintah Daerah, Yayasan, Koperasi dan Swasta lain, melambat tajam lajunya dengan kenaikan cuma 3% tadi bulan Mei yang sebesar 0,7%.
Berdasarkan jenis kredit, terlihat bahwa kredit yang masih kencang lajunya adalah kredit modal kerja. Sementara kredit investasi dan kredit konsumsi, pertumbuhannya sama-sama melambat masing-masing cma naik 12,2% dan 8,6%.
Penyaluran kredit ke golongan debitur UMKM juga stagnan, cuma tumbuh 2%. Kredit ke usaha mikro malah terkontraksi hingga 2,5%, makin dalam dibanding bulan sebelumnya. Sedangkan ke debitur usaha menengah, penyaluran kredit juga susut dengan pertumbuhan negatif 0,6% pada Juni lalu, setelah sebelumnya minus 1%.
Belanja pemerintah
Ekonom menilai, pertumbuhan uang beredar ke depan akan sangat bergantung pada tiga hal. Pertama, belanja pemerintah. Realisasi belanja diperkirakan cukup kokoh pada Semester 2-2025.
Namun, kemungkinan masih akan ada hambatan dari dua faktor berikut. Yaitu, kedua, perkembangan neraca dagang. "Surplus dagang RI berisiko melemah akibat penurunan harga komoditas," kata David.
Ketiga, hambatan dari pertumbuhan kredit yang lesu. Laju kredit sudah ambles ke level terendah sejak Maret 2022 ketika permintaan domestik lesu ditambah kondisi manufaktur yang juga terkontraksi.
Jadi, bila tiga hal tersebut tidak menunjukkan perbaikan, pertumbuhan uang beredar dalam perekonomian domestik mungkin belum juga membaik.
Itu akan membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia makin menjauh dari angka 'keramat' 5%.
(rui/roy)




























