“Penghentian produksi yang berlangsung lebih dari enam bulan membuat operasionalisasi kembali fasilitas unit produksi kami di Karawang menjadi tidak layak secara teknis dan komersial,” kata manajemen perusahaan dikutip dari keterbukaan informasi, Selasa (22/7/2025).
Manajemen menjelaskan perusahaan akan mendeklarasikan penutupan permanen unit produksi ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk merevisi proyeksi bisnisnya berdasarkan operasi pabrik Kaliwungu-Kendal di masa mendatang.
Di sisi lain, menurut Manajemen POLY, sejumlah upaya saat ini masih berlangsung untuk menyelesaikan restrukturisasi utang dengan Kementerian Keuangan guna mencapai kesepakatan akhir atas perbaikan proposal yang diajukan perseroan.
“Tetapi proses ini kemungkinan membutuhkan waktu lebih lama untuk diselesaikan,” tulis keterangan manajemen.
Manajemen POLY menyebut penutupan unit produksi di Karawang akan mengakibatkan pendapatan penjualan tahunan perseroan tahun 2025 dan seterusnya menjadi lebih rendah dari tahun- tahun sebelumnya.
Dalam waktu dekat, perusahaan akan melakukan revisi proyeksi keuangannya sesuai dengan keterbatasan operasional sebagai dampak penutupan unit produksi Karawang ini.
“Perseroan segera mereview dan mereposisi kembali produk-produk dan faktor pendukung lainnya yang ada di unit produksi pabrik Kaliwungu,” ungkapnya.
Kemudian, perseroan akan meneruskan proses restrukturisasi yang sedang berlangsung saat ini untuk mencapai kesepakatan dengan para kreditur dan investor. Hal ini supaya produsen benang tersebut berpeluang mendapatkan pendanaan untuk meningkatkan produksinya, meningkatkan fasilitasnya dan memperbaiki hasil usahanya untuk para pemangku kepentingan.
Belakangan, industri pertekstilan Indonesia memang banyak mendapat tekanan. Penerapan tarif resiprokal AS ke Indonesia membuat industri andalan RI tersebut makin terpukul.
Adapun, produk tekstil seperti pakaian jadi beserta aksesorisnya sendiri merupakan salah satu komoditas andalan ekspor RI ke AS yang menyumbang 9,4% dari total ekspor RI.
Komoditas tersebut juga menyumbang sebesar 61,4% dari total ekspor kelompok produk tersebut dari Indonesia ke seluruh dunia, berdasarkan data laporan TradeMap dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Tekanan Produsen Benang Imbas Penolakan BMAD
Di sisi lain, penolakan pemerintah atas pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China membuat daya saing produsen dalam negeri terkikis.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebelumnya resmi menolak dan tidak memproses lebih lanjut usulan pengenaan BMAD atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China.
Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan penolakan tersebut dilakukan guna menjaga daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri secara menyeluruh, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.
"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas," ujarnya melalui keterangan resmi, bulan lalu.
Busan, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa saat ini kapasitas produksi benang filamen nasional juga masih sangat terbatas, yang sebagian besar produksi digunakan untuk keperluan sendiri.
Selain itu, pertimbangan lainnya adalah sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan trade remedies yang meliputi Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023.
Kemudian, ada juga BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, Tiongkok, dan Taiwan berdasarkan PMK No. 176 Tahun 2022. Jika BMAD atas benang filamen sintetis tertentu tetap diberlakukan, maka akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir.
“Sektor industri TPT baik hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri,” katanya.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wiraswasta menilai keputusan Kemendag tersebut tidak masuk akal. Redma lantas menyebut jika barang impor benang filamen yang berasal dari Negeri Tirai Bambu tersebut terbukti telah melakukan praktik dumping, yang pada akhirnya turut membuat daya saing produsen dalam negeri terkikis.
Hal ini, kata dia, juga merupakan kewajiban pemerintah melalui otoritas perdagangan untuk merespons dan menindak praktik dumping tersebut, alih-alih mendukung dengan dalih menjaga industri dalam negeri.
"Kalau menolak dengan alasan menjaga industri dalam negeri kan jadinya aneh, seakan-akan Kemendag tidak mengerti dumping itu apa," tutur dia.
(ell)





























