Hanya tiga kawasan di Indonesia yakni Sulawesi, Maluku dan Papua yang masih mencatat pertumbuhan di atas 5%. Sementara kawasan penyumbang konsumsi terbesar seperti Jawa, masih belum mampu tumbuh di atas angka tersebut.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson menilai, paparan dan penekanan hasil pertemuan Juli menunjukkan, Bank Indonesia akan agresif menurunkan suku bunga acuan lebih lanjut ke depan.
"BI memperluas alasan penurunan suku bunga di luar faktor rupiah dan telah membuka peluang penurunan bunga acuan lebih besar. BI juga mengindikasikan akan berusaha sekuat tenaga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kami perkirakan akan ada penurunan BI Rate sebesar 25-50 bps lagi di semester dua tahun ini," kata Henderson.
Penurunan BI Rate pada Juli, menjadi yang ketiga tahun ini setelah Januari dan Mei lalu dan menjadi keempat dari siklus pelonggaran moneter yang dimulai pada September tahun lalu.
"Keputusan penurunan BI Rate mengirimkan sinyal pro-pertumbuhan yang kuat. BI memprioritaskan momentum daripada kehati-hatian," kata Mohit Mirpuri, Senior Partner di SGMC Capital, di Singapura.
Keputusan penurunan BI Rate pada Juli di luar ekspektasi mayoritas pelaku pasar. Survei yang dihelat Bloomberg sebelumnya menghasilkan konsensus 'tahan'.
Namun, sebanyak 15 dari 33 ekonom yang disurvei tepat dalam memperkirakan penurunan suku bunga acuan kemarin.
Pertumbuhan
Kondisi perekonomian domestik memang mengirim peringatan sehingga membutuhkan dukungan agar tak makin terperosok. Meski BI masih optimistis ekonomi RI di sisa tahun ini membaik sehingga bisa mengejar pertumbuhan antara 4,6-5,4%, ekonom menilai capaian laju Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini akan sulit menyentuh 5% apalagi di atasnya.
"Tarif resiprokal 19% meski lebih rendah daripada semula, masih merupakan lonjakan pungutan yang cukup besar bagi eksportir dan konsesi yang diberikan [oleh Indonesia pada AS] akan membebani pertumbuhan," kata Henderson.
Nyatanya, perekonomian Indonesia sudah terseok-seok dalam kelesuan sebelum kebijakan tarif AS diumumkan. Konsumsi rumah tangga sampai saat ini belum mampu bangkit ke level prapandemi.
Maka, penurunan lebih lanjut bunga acuan ke depan untuk mendorong pertumbuhan, menjadi kebutuhan. "Penurunan di bulan ini hanya awal. BI rate bisa diturunkan ke level 4,5% tahun ini," kata Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian.
Kesepakatan dagang dan adanya perang dagang dinilai akan mengubah konstelasi neraca pembayaran di dunia sehingga berdampak pada perubahan aliran modal global.
"Dalam perang dagang, urgensi bagi negara surplus untuk berinvestasi dalam US Treasury jadi turun dan harus terjadi realokasi dari cadangan devisa. Itu akan menjadi hal kunci dalam penguatan rupiah dan pemotongan bunga acuan selanjutnya," kata Fakhrul.
Kredit Perlu Didorong
Dalam paparannya kemarin, Gubernur Perry juga menggarisbawahi perihal kinerja kredit perbankan yang masih seret di tengah kecenderungan para bankir menumpuk dana di instrumen surat berharga (SBN), alih-alih menyalurkannya ke sektor riil dalam bentuk kredit.
Sebagai catatan, posisi perbankan di SBN mencapai Rp1.275,45 triliun per 15 Juli, seperti dilansir oleh data Kementerian Keuangan. Posisi kepemilikan SBN oleh bank itu menjadi yang tertinggi dalam setahun terakhir.
Sementara di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), bank menempatkan dana sebanyak Rp523,49 triliun sampai akhir Juni, seperti data terakhir yang dirilis bank sentral.
Perry mengatakan, bank sentral telah mengambil berbagai langkah untuk mendorong pertumbuhan kredit dan penurunan suku bunga pinjaman untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Jadi BI sangat all out untuk mendorong pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi bersama dengan pemerintah. Pertanyaannya, kenapa suku bunga bank belum turun? Kenapa kredit juga pertumbuhan bulan lalu juga turun?” kata Perry.
Menurut analisis BI, demikian dijelaskan oleh Perry, masalah perbankan saat ini bukan pada likuiditas. Buktinya indikator alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sangat tinggi mencapai 27%.
“Ini masalah preferensi, bank lebih suka menaruh dana di surat berharga dan terlalu berhati-hati dalam mendorong kredit. Jadi ekses likuiditas ditaruh pada surat berharga ketimbang dorong kredit,” katanya.
Permintaan kredit dari sektor riil memang belum tinggi sehingga butuh dorongan baik dari sisi fiskal maupun moneter.
“Oleh karena itu suku bunga BI kita turunkan, likuiditas kita tambah dalam operasi moneter. Ini akan mendorong perbankan lebih banyak alokasikan alat likuid bukan ke kredit tetapi kredit ke dunia usaha. Yuk, sama-sama turunkan suku bunga, sama-sama dorong pertumbuhan ekonomi untuk negara kita dan kesejahteraan rakyat,” kata Perry.
(rui/aji)































