Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang digelar sejak kemarin dan akan menghasilkan keputusan pada hari ini, dinilai akan menghadapi kerumitan baru setelah tercapai kesepakatan dagang Indonesia dengan Amerika Serikat (AS).

Tingkat tarif yang lebih rendah ketimbang 'vonis' semula, yaitu menjadi 19%, termasuk yang terendah di ASEAN, pada satu sisi mungkin melegakan. Namun, tarif riil serta penghapusan tarif barang impor AS, juga kesepakatan pembelian produk energi dan pertanian serta pesawat, dipandang akan berdampak tak kecil terhadap kinerja dagang RI ke depan serta nasib pertumbuhan ekonomi domestik.

"Kesepakatan dagang dengan AS ini menambah lapisan kerumitan bagi keputusan Bank Indonesia pada Rabu sore ini," kata Brendan McKenna, Strategist dari Wells Fargo, salah satu bank terbesar di AS, dilansir dari Bloomberg News, hari ini (16/7/2025).

Mengutip kajian Bloomberg Economics oleh analis Adam Farrar dan ekonom Rana Sajedi, tarif bea masuk produk Indonesia ke AS pada 2024 (sebelum Trump menggaungkan kebijakan tarif) memang rendah, kurang dari 5%. Saat ini, tarif efektif yang berlaku sudah naik ke hampir 15%.

“Dengan kesepakatan terbaru dengan tarif 19%, maka tarif efektif terhadap produk-produk Indonesia akan naik menjadi lebih dari 22%,” sebut riset itu.

Memang tarif tersebut jauh lebih rendah dari ‘ancaman’ awal. Namun bukan berarti tanpa risiko bagi Indonesia. “Pembacaan awal kami mengindikasikan bahwa ekspor Indonesia ke AS bisa turun 25% dalam jangka menengah. Dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 0,3%,” ungkap riset Bloomberg Economics.

Nilai ekspor RI ke AS selama Januari-Mei 2025 mencapai US$12,11 miliar, setara dengan 11,42% total ekspor RI pada periode tersebut.

Nilai pembelian produk energi dan pertanian AS oleh Indonesia juga pesawat Boeing hingga 50 unit, belum dijelaskan kapan akan direalisasikan. Namun, bila menghitung total pembelian yang mendekati defisit dagang AS dengan RI senilai US$18 miliar.

Pada pembukaan pasar hari ini, rupiah melemah di kisaran Rp16.275/US$, pelemahan terkecil di Asia ketika sebagian valuta yang lain bergerak menguat.

Selama Juli, rupiah membukukan pelemahan 0,23%, terkecil kedua setelah rupee, meski masih kalah dengan dolar Taiwan. Sedangkan dibanding posisi terakhir ketika RDG Juni digelar, rupiah masih mencetak penguatan 0,15%, terbaik keempat di Asia.

Konsensus 'Tahan'

Konsensus pasar sejauh ini masih menghasilkan median 5,5% yang berarti mayoritas pelaku pasar memperkirakan BI rate akan ditahan lagi oleh Bank Indonesia.

Namun, konsensus itu tidak bulat. Sebanyak 15 ekonom dari 33 yang disurvei memperkirakan BI rate berpeluang turun 25 bps hari ini ke level 5,25%.

Hasil lelang Surat Utang Negara pada Selasa kemarin juga memperlihatkan ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga acuan hari ini, cukup besar, ditandai dengan incoming bids yang masih di atas Rp100 triliun. 

Selain isu tarif AS dan hasil kesepakatan dengan Indonesia, keputusan BI rate hari ini juga akan diperumit dengan perkembangan terbaru di Amerika terkait posisi Gubernur Federal Reserve Jerome Powell.

Upaya Presiden AS Donald Trump menggusur Powell yang kian intens, di tengah rasa percaya diri bahwa kebijakan tarifnya tidak terlalu berdampak pada inflasi di negara tersebut, telah menuai reaksi negatif dari pasar Treasury, surat utang AS.

Yield UST-10Y melonjak 4,8 bps ke level 4,48% sehingga selisih imbal hasil dengan Surat Utang Negara (SUN) menyempit lagi tinggal 207 bps. 

"Perkembangan ini dapat memperumit reaksi pasar terhadap pengumuman BI rate siang nanti. Menurut kami, rupiah masih akan tertahan dalam rentang Rp16.250-16350/US$. Sedangkan yield SUN 10Y dan INDON berpotensi turun ke rentang 6,50-6,55% serta 5,15-5,20% bila BI memutuskan penurunan bunga acuan 25 bps ke 5,25%," kata tim analis Mega Capital Sekuritas di antaranya Lionel Priyadi, Muhammad Haikal dan Nanda Rahmawati dalam catatannya pagi ini.

Pagi ini, yield SUN 2Y naik 0,9 bps, ketika tenor 5Y juga naik tipis 0,3 bps dan tenor 10Y merangkak sedikit ke level 6,577%. Tenor panjang 20Y juga naik 0,9 bps ke level 6,986% seperti ditunjukkan oleh data OTC Bloomberg.

Waktunya Turun

Menurut Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, kesepakatan dengan AS menjadi deal sangat bagus bagi Indonesia. Dengan tarif 19%, itu menjadi lebih rendah dibandingkan tingkat tarif AS ke Malaysia 25%, Vietnam 20% dan 40% transshipment, serta ke Thailand 36%. 

Meski perlu dicatat bahwa proses negosiasi tiga negara ASEAN itu juga masih belum sepenuhnya selesai sehingga masih angka tarif masih potensial berubah lagi. 

"Di tengah dunia yang volatil seperti saat ini, adanya kesepakatan ini menjadi angin segar," ujar Fakhrul, dalam catatan pagi ini.

Yang lebih penting sebenarnya bukan besaran tarifnya, kata Fakhrul. Namun, pernyataan dari pemerintah AS akan posisi Indonesia. Posisi Indonesia dalam mineral tanah jarang, tembaga dan mineral lainnya menunjukkan posiai tawar Indonesia. "Sumber-sumber inilah yang nantinya akan menjadi posisi tawar di masa yang akan datang," kata Fakhrul.

Dengan kesepakatan sudah dicapai dengan AS, menurut ekonom, kebijakan moneter sudah waktunya lebih dilonggarkan. Tingkat inflasi yang sangat rendah di 1,87% dan makin stabilnya rupiah dengan kecenderungan penguatan, ruang penurunan suku bunga  menjadi semakin besar. "BI akan menurunkan bunga acuan 25 bps hari ini," kata Fakhrul.

Terlebih, negara-negara tetangga seperti India dan Malaysia juga telah memangkas bunga acuan. Urgensi sudah perlu digeser menjadi pertumbuhan ekonomi, dari stabilitas rupiah, menurut Fakhrul. 

"Setelah BI potong suku bunga dan belanja pemerintah meningkat, maka arus modal akan kembali dan memperkuat rupiah," kata Fakhrul yang memprediksi rupiah berpeluang menguat ke level Rp15.500 tahun ini. 

Perbaikan ekonomi pada paruh kedua tahun 2025, potensial membawa IHSG mencapai 7750 pada akhir tahun ini. Sektor unggulan pada paruh kedua tahun ini adalah sektor terkait metal dan consumer.  "Seharusnya sudah lebih banyak upside di tengah tahun ini dibandingkan downside," kata Fakhrul.

(rui/aji)

No more pages