Pasar masih mencermati perkembangan isu tarif AS yang masih panas. Terbaru, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan pengenaan tarif hingga 30% terhadap barang impor dari Uni Eropa dan Meksiko.
Para pelaku pasar juga akan memantau perkembangan isu seputar serangan Trump terhadap Gubernur Federal Reserve Jerome Powell.
Ahli Strategi Deutsche Bank AG George Saravelos mengatakan, potensi pemecatan Powell merupakan risiko besar dan tidak diperhitungkan oleh pasar sejauh ini sehingga hal itu bisa memicu penjualan dolar AS dan US Treasury.
"Jika Trump memaksa Powell berhenti, dalam 24 jam berikutnya kemungkinan akan terjadi penurunan nilai dolar AS sebesar 3-4% serta aksi jual obligasi sebesar 30-40 basis poin," kata Saravelos, dilansir dari Bloomberg News.
Dari pasar domestik, pekan ini adalah pekan penentuan suku bunga acuan BI Rate. Berdasarkan konsensus pasar yang dilansir Bloomberg sampai Senin pagi ini, pasar memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan di 5,50%.
Namun, konsensus itu tidak bulat. Sebanyak 11 dari 25 ekonom memperkirakan, BI berpeluang menurunkan bunga acuan sebanyak 25 bps pada pekan ini dan membawa BI rate ke level 5,25%.
Secara teknikal, rupiah memiliki level support terdekat Rp16.250/US$, sementara kisaran gerak rupiah dalam support ada di antara Rp16.300 sampai dengan Rp16.400/US$.
BI rate bisa turun?
Pasar keuangan domestik, seperti terlihat dalam pergerakan pada pekan lalu, terlihat masih bertahan dari tekanan isu dagang ditandai dengan animo yang masih besar di pasar surat utang negara, ketika tekanan jual meningkat di pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Data Kementerian Keuangan yang dikutip oleh Bloomberg mencatat, kepemilikan asing di SBN bertambah Rp4,89 triliun menjadi Rp935,92 triliun, per 10 Juli, dibanding posisi pekan sebelumnya.
Akan tetapi di pasar saham, asing melego kepemilikan ekuitas rupiah mereka senilai US$ 115,2 juta dalam sepekan atau sekitar Rp1,86 triliun seperti ditunjukkan data Bloomberg.
Adapun di SRBI, asing juga membukukan net sell seiring tingkat imbal hasil yang terus menurun. Laporan Bank Indonesia mencatat, berdasarkan data transaksi antara 7-10 Juli lalu, investor asing mencatat net sell SRBI senilai Rp5,41 triliun.
Pagi ini, IHSG masih melanjutkan penguatan 0,59% di level 7.089. Sedangkan di pasar surat utang negara, seperti melansir data OTC Bloomberg, yield bergerak variatif cenderung naik.
Tenor 2Y turun imbal hasilnya 0,5 bps, sedangkan tenor 5Y terpangkas 0,1 bps. Namun, tenor 10Y naik 1,5 bps pagi ini di 6,592%.
Dalam lelang terakhir SRBI pada Jumat pekan lalu, yield terus turun, memperpanjang tren penurunan dalam empat hajatan lelang berturut-turut.
Penurunan yield SRBI menyentuh level 5,874%, terendah sejak instrumen ini pertama kali diperkenalkan pada September 2023 silam, memperkuat spekulasi akan peluang pelonggaran moneter lebih lanjut oleh Bank Indonesia dalam waktu dekat ketika harga surat utang pemerintah juga terus melaju didukung stabilnya kinerja rupiah.
Keyakinan sebagian pelaku pasar bahwa BI rate bisa dipangkas bulan ini, bukan hanya karena kinerja rupiah yang sebenarnya cukup stabil ketika indeks dolar AS menguat lebih banyak pada periode yang sama.
Rilis beberapa data penting ekonomi domestik sejak terakhir kali RDG digelar, juga mendukung ekspektasi tersebut.
Inflasi pada Juni terkendali di kisaran rendah di 1,87%. Sementara itu, muncul sinyal pelemahan permintaan yang terlihat dari perlambatan laju inflasi inti dua bulan beruntun. Laju inflasi inti pada Juni hanya tercatat sebesar 2,37%, melemah dibanding Mei sebesar 2,40%.
Ekspektasi inflasi ke depan juga masih rendah. Indeks Ekspektasi Harga tiga bulan ke depan atau pada Agustus, masih rendah dengan penurunan indeks menjadi 139,6. Penurunan ekspektasi harga pada Agustus melanjutkan tren serupa sejak Mei, Juni dan Juli.
Di sisi lain, perekonomian domestik makin benderang menunjukkan kelesuan yang membutuhkan intervensi. Aktivitas manufaktur RI pada Juni kembali terkontraksi untuk tiga bulan beruntun.
Disusul oleh kinerja penjualan eceran yang kontraksinya lebih dalam pada Mei ketika perkiraan kinerja pada Juni juga masih lesu.
(rui)

































