“Lalu, BI Rate yang 6% telah meningkatkan cicilan mobil 15-20%, sementara tingkat NPL [Non-Performing Loan] pembiayaan otomotif yang naik membuat lembaga keuangan memperketat persetujuan kredit” tambah Yannes.
Belum lagi adanya kenaikan kurs dollar Amerika Serikat dan gangguan supply chain akibat krisis ekonomi politik global yang membuat biaya produksi dan distribusi semakin mahal. Ujung-ujungnya seluruh komponen ini kemudian dibebankan pada harga kendaraan di pasar domestik.
Apabila keterpurukan ini berlanjut, Yannes bilang bahwa bisa saja hal ini bisa mengancam Indonesia sebagai pusat produksi otomotif yag ada di ASEAN, terlebih dengan kebijakan kendaraan listrik di Thailand dan Vietnam yang lebih matang dan agresig dalam mendorong produksi dan ekspor.
“Ada kekhawatiran bahwa posisi Indonesia sebagai pusat produksi otomotif di ASEAN dapat terganggu di tengah persaingan yang semakin ketat ini. Sehingga, Indonesia perlu segera mengembangkan strategi yang lebih berorientasi ekspor setelah menggenjot percepatan ekosistem hulur-hilir terkait EV [Kendaraan listrik] di dalam negeri, dan menargetkan pasar global yang masih tumbuh selain ASEAN.” kata Yannes.
Perlu Campur Tangan Pemerintah
Yannes menyebut apabila hal ini berlanjut maka pemerintah seharusnya ikut campur tangan untuk mencegah berlanjutnya kelesuan penjualan otomotif tahun ini dengan memberikan stimulus yang tepat.
Dengan keterlibatan pemerintah, dampak positif tidak hanya akan mendongkrak penjualan mobil tetapi juga memberikan efek positif berantai ke industri komponen, perbankan, dan lembaga pembiayaan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan negara.
“Lalu, segera menyelesaikan kebingungan seputar kebijakan Opsen Pajak melalui sosialisasi dan komunikasi yang lebih jelas.” Sebut Yannes
Yannes juga mengatakan meski pemerintah kini tengah memberikan dukungan penuh untuk pengembangan ekosistem EV [Kendaraan Listrik] dari hulu ke hilir yang saat ini sedang berlangsung masif, pemerintah harus tetap memperhatikan keberlangsungan idustri komponen lokal yang sebagian besar masih bergantung pada teknologi mesin ICE konvensional yg menghadapi kerentanan seiring transisi ke EV.
“Agar tetap mampu beradaptasi dan tetap berdaya saing dan berbagai hal lain yang dianggap perlu diambil oleh pemerintah untuk memitigasi risiko perlambatan pasar yang lebih dalam.” sebutnya.
Yannes menyebut insentif dari pemerintah seharusnya tak hanya diberikan kepada kendaraan konvensional saja. Meski sudah banyak insentif diberikan kepada segmen kendaraan listrik, pemerintah seharusnya menggelontorkan insentif lagi untuk mempercepat tumbuhnya ekosistem EV nasional, sehingga produsen EV global semakin banyak yang berinvestasi ke Indonesia.
“Sekaligus berkomitmen pada pembangunan industrinya di Indonesia, termasuk industri komponennya, dengan sanksi denda jika gagal memenuhi target produksi dalam negeri” sebutnya.
Yannes menyebut sektor hilir dari industri EV nasional harus diperkuat sehingga industri EV nasional memiliki ekosistem yang lebih berkelanjutan. Selanjutnya percepatan pembangunan infrastruktur charging station dan percepatan hilirisasi komponen sel baterai EV di dalam negeri menjadi bagian penting dalam membangun industri ini.
Selain itu pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi produsen lokal yang ingin memproduksi EV seperti keringanan pajak atau bantuan modal agar semakin kompetitif dengan produk impor.
“Sementara untuk sektor hulu juga perlu perhatian melalui kebijakan yang mendorong efisiensi dan keberlanjutan, seperti mulai menegakkan regulasi ramah lingkungan. Tentunya ini perlu kolaborasi ketat lintas sektoral” tutupnya.
(ell)
































