Logo Bloomberg Technoz

“Jadi kita tuh enggak takut, harus tunduk kepada Amerika. Mereka sekali lagi bukan di Top 5, jadi kenapa kita harus tetap impor? Kita enggak dapat benefit apa-apa. Mereka yang dapat benefit karena barang mereka dibeli lebih banyak dari kita, curang kalau gitu kan,” ujarnya.

Jangan Memaksa

Di sisi lain, Moshe menggarisbawahi, jika Indonesia tetap memaksakan impor migas dari AS, bisa dipastikan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akan makin terbebani.

Bahkan, dalam 4 hingga 5 tahun ke depan, jorjoran impor komoditas energi dari AS berisiko menjadi temuan kasus oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kejaksaan Agung, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“APBN kita tergerus karena meningkatkan impor kita. Bisa jadi temuan BPK, Kejaksaan, KPK ini bisa jadi kasus,” ungkapnya.

Dia pun meminta pemerintah dapat memperkuat fiskal bukan menambah beban bagi APBN. Pemerintah seharusnya juga bisa membantu industri untuk mencari alternatif pasar ekspor selain AS.

Dalam perkembangan terbaru, Trump resmi mengumumkan tetap akan mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia yang dimulai pada 1 Agustus 2025. Dengan demikian, Indonesia gagal mencapai kesepakatan dalam negosiasi tarif resiprokal AS.

"Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif sebesar 32% kepada Indonesia atas semua produk Indonesia yang dikirim ke AS, terpisah dari semua tarif sektoral. Barang yang dikirim ulang [transshipped] untuk menghindari tarif yang lebih tinggi akan dikenakan tarif yang lebih tinggi," tulis Trump dalam surat kepada Presiden Prabowo Subianto yang diunggah ke akun media sosial Truth, Senin (7/7/2025), waktu setempat.

Sebelumnya, padahal, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah telah membahas rencana untuk membeli produk energi dari AS senilai US$15,5 miliar dari total proposal dagang senilai US$34 miliar yang diajukan ke pemerintahan Donald Trump.

Langkah ini dilakukan sebagai bentuk tawaran dari Indonesia ke AS yang berkaitan dengan negosiasi tarif resiprokal. Adapun, komoditas yang berpeluang diimpor mencakup minyak mentah (crude), gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG), dan gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG).

"Jadi sudah dibahas tentang rencana Indonesia mengenai pembelian energi yang totalnya bisa mencapai US$15,5 miliar. Terkait dengan detailnya, nanti sesudah diumumkan baru nanti kita umumkan," ujar Airlangga dalam konferensi pers, Kamis (3/7/2025).

Nilai US$15,5 miliar tersebut jauh melebihi estimasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya di kisaran US$10 miliar.

Jika dibandingkan dengan total nilai impor migas RI dari AS senilai US$2,49 miliar pada 2024, angka tersebut juga terpaut sangat jauh. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas Indonesia sepanjang 2024 mencapai US$36,27 miliar. Postur impor itu berasal dari pembelian minyak mentah sekitarUS$10 miliar dan hasil migas sebesar US$25,92 miliar.

Adapun, impor LPG Indonesia sepanjang 2024 mencapai 6,89 juta ton dengan nilai mencapai US$3,78 miliar. Porsi impor LPG dari Amerika Serikat mencapai 3,94 juta ton, dengan nilai impor US$2,03 miliar.

Selain AS, Indonesia mengimpor LPG dari Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Arab Saudi hingga Algeria.

Di sisi lain, kuota impor minyak mentah Indonesia dari AS terbilang kecil dibandingkan dengan realisasi impor sepanjang 2024. Indonesia mengimpor minyak mentah dari AS sekitar US$430,9 juta pada periode tersebut.

Sebagian besar impor minyak mentah Indonesia berasal dari  Arab Saudi, Angola, Nigeria hingga Autralia. Sementara itu, impor BBM kebanyakan berasal dari kilang di Singapura.

(mfd/wdh)

No more pages