Namun demikian, Julian menekankan penerapan kriptografi kuantum masih menghadapi banyak tantangan teknis. Salah satunya, keterbatasan jarak transmisi foton melalui serat optik, yang menyebabkan sinyal menjadi tidak stabil.
Selain itu, perangkat keras QKD memerlukan sistem keamanan tambahan, seperti Zero Trust dan standar sertifikasi yang ketat.
"Jadi, masih ada banyak tantangan. Bitrate [dan] yang lain. Jadi, masih ada jalan yang jauh, tapi mereka mulai memiliki beberapa aktivitas mengenai test bits, tidak komersial," jelasnya.
Selain pendekatan fisik, Julian juga menjelaskan adanya pendekatan alternatif bernama kriptografi pasca-kuantum (Post-quantum Cryptography/PQC). Teknik ini tidak menggunakan fisika kuantum, melainkan algoritma matematis baru yang dirancang untuk tetap aman meski diserang oleh komputer kuantum.
Langkah ini menjadi penting karena komputer kuantum, melalui algoritma seperti Shor’s Algorithm, mampu memecahkan sistem enkripsi konvensional seperti RSA (algoritma kriptografi kunci publik yang digunakan untuk keamanan komunikasi) dalam waktu jauh lebih singkat dibanding komputer klasik.
Hal ini berpotensi mengancam fondasi sistem keamanan digital global yang selama ini digunakan.
"Hal ini menciptakan paradigma baru, di mana kriptografi yang digunakan saat ini tidak lagi relevan dan aman terhadap serangan dari komputer kuantum di masa depan. Karena itu, muncul kebutuhan untuk mengembangkan standar kriptografi baru—bukan berbasis teknologi kuantum, tetapi didasarkan pada persoalan matematis yang juga sulit diselesaikan oleh komputer kuantum," jelas Julian.
"Jenis kriptografi ini saat ini sedang dikembangkan oleh berbagai organisasi di seluruh dunia, termasuk NIS, dan mulai disertifikasi dalam bentuk standar keamanan baru. Inilah yang dikenal sebagai Post-Quantum Cryptography (PQC) atau Quantum-Safe Cryptography," pungkasnya.
(prc/ros)































