Logo Bloomberg Technoz

Tekanan yang dihadapi rupiah itu memperburuk capaian kinerja mata uang Indonesia selama pertengahan kuartal dua ini, dengan mencatat kehilangan 2,15% hanya dalam tempo sebulan saja. Selama Mei, pairing USD/IDR bergerak di kisaran Rp14.831/US$ dengan level terkuat di posisi Rp14.592/US$ pada 4 Mei lalu dan posisi terlemah pada 31 Mei saat terlempar ke Rp15.008/US$.

Sebagai perbandingan, selama Januari, rupiah berhasil mencetak penguatan 3,85%. Lalu disusul pada Februari, nilai tukar rupiah menguat 1,72% dibanding posisi akhir 2022. Selanjutnya, pada Maret, penguatan rupiah hanya tipis saja sebesar 0,03%. Akan tetapi, pada April, rupiah kembali perkasa dengan mencetak penguatan hingga 6% point-to-point. Pada 28 April, rupiah bahkan ke level terkuat sepanjang 2023 di posisi Rp14.670/US$.

Alhasil, bila menghitung level rupiah terakhir dibandingkan posisi penutupan akhir tahun 2022, capaian penguatan rupiah sepanjang tahun menjadi tergerus tinggal 3,7%.

Tekanan yang dihadapi oleh nilai tukar rupiah selama Mei lalu tidak bisa dilepaskan dari reposisi pemodal asing di pasar keuangan domestik. Untuk pertama kalinya sejak Februari, pemodal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencatat posisi jual bersih bulanan senilai US$16,4 juta selama Mei lalu. 

Mengacu pada kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia yang mencatat Rp15.003/US$, nilai outflow itu setara dengan Rp2,46 triliun.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi kepemilikan asing di SBN per 29 Mei lalu tergerus ke Rp829,98 triliun, menurun Rp1,34 trilun dalam sehari saja. 

Permintaan dolar AS Memuncak

Pelemahan rupiah pada Mei ini sejatinya sudah terprediksi mengingat secara historis permintaan dolar Amerika pada Mei selalu tinggi ditambah beban utang luar negeri jatuh tempo dan impor BBM oleh Pertamina.

Hitungan Bahana Sekuritas, pada Mei lalu tercatat nilai utang luar negeri jatuh tempo Indonesia sebesar US$4,5 miliar, sekitar Rp66 triliun. Di sisi lain, rupiah juga menghadapi tekanan pembayaran dividen korporasi yang menguras persediaan dolar AS di pasar. Perkiraan analis, kebutuhan dividen 12 perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia mencapai Rp140 triliun tahun ini, naik 20% dari tahun lalu sebesar Rp121,8 triliun.

Di saat yang sama, kebutuhan impor minyak dan gas oleh PT Pertamina (Persero) dan pembelian valasnya sekitar US$2,5 miliar - US$3 miliar sebulan. 

"Ujian sebenarnya bagi kekuatan nilai tukar rupiah akan datang pada Mei nanti saat permintaan terhadap dolar AS akan naik tajam dari impor, pembayaran dividen dan pembayaran utang dolar AS,” kata Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam catatan analisis yang diterima Bloomberg Technoz, pada pertengahan April lalu.

(rui)

No more pages