Logo Bloomberg Technoz

Mulai dari penambangan nikel laterit, pengolahan melalui smelter HPAL menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP), produksi prekursor dan katoda, hingga akhirnya sel baterai.

Menurutnya, jika biaya produksi MHP meningkat signifikan karena harga sulfur terus naik, maka biaya bahan baku untuk pabrik prekursor atau katoda di dalam ekosistem baterai CATL di Indonesia juga akan meningkat.

Sulfur sendiri digunakan sebagai bahan baku dalam produksi produk antara nikel seperti nikel MHP, melalui proses smelter hidrometalurgi berbasis HPAL atau asam bertekanan tinggi.

Penundaan Ekspansi

Lebih jauh, Wahyu berpandangan jika kenaikan biaya sulfur persisten dan mengancam kelayakan ekonomi proyek, terdapat risiko penundaan ekspansi kapasitas proyek CATL dari 7,5 gigawatt (GW) ke 15 GW. Bahkan, dalam skenario terburuk dan ekstrem, proyek CATL dapat direvisi secara keseluruhan.

Dalam kesempatan berbeda, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengungkapkan industri pabrik pemurnian (smelter) nikel berbasis HPAL di Indonesia masih lebih unggul dibandingkan dengan negara lain di dunia, meskipun tengah mendapat tekanan akibat kenaikan harga sulfur.

Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy Hartono mengungkapkan kenaikan biaya produksi imbas lonjakan harga sulfur berlaku untuk seluruh smelter HPAL yang beroperasi di dunia, tidak hanya di Indonesia.

“Dalam konteks competitiveness [daya saing], pabrik HPAL di Indonesia lebih baik dibandingkan dengan HPAL di negara lain, dikarenakan faktor ketersediaan bahan baku HPAL berupa bijih limonit yang berlimpah serta infrastruktur pendukung yang memadai,” kata Sudirman saat dihubungi.

Dalam kaitan itu, lanjut Sudirman, kenaikan harga sulfur setidaknya akan berpengaruh terhadap ekosistem baterai EV.

“​​Sedikit banyak untuk saat ini tentu akan berpengaruh, tetapi kita lihat saja perkembangannya. Kita tentunya berharap kenaikan harga sulfur yang signifikan ini tidak akan berlangsung secara permanen untuk jangka panjang,” ujarnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada smelter HPAL di Tanah Air yang menyetop operasinya imbas kenaikan harga sulfur tersebut.

Hingga saat ini, menurut catatan Perhapi, terdapat sembilan smelter HPAL yang sudah beroperasi dan lima yang masih dalam tahap konstruksi di Indonesia.

Namun, Sudirman menyebut belum tersiar kabar ihwal pabrik HPAL yang sedang konstruksi menghentikan dan menunda rencana pembangunannya.

“Namun, tetap saja, kenaikan harga asam sulfat, serta penurunan harga nikel yang terjadi bersamaan, dalam kurun yang lama akan berdampak terhadap keekonomian operasional pabrik HPAL di Indonesia,” ujarnya.

Kenaikan harga sulfur memengaruhi kinerja industri smelter nikel di Indonesia./dok. Bloomberg

Argus Media belum lama ini melaporkan harga sulfur global mulai naik sejak pertengahan 2024 karena permintaan yang lebih kuat dari Maroko dan Indonesia.

Harga sulfur freight on board (FoB) Timur Tengah naik lebih dari tiga kali lipat menjadi US$285,5/ton FoB per 1 Mei dari US$86/ton tahun sebelumnya, menurut penilaian Argus. Harga sulfur granular cost on freight (CFR) Indonesia naik US$185/ton menjadi US$297/ton CFR selama periode yang sama.

Sementara itu, harga sulfur telah meningkat secara signifikan selama setahun terakhir, sedangkan harga nikel intermediet asal Indonesia sebagian besar berada dalam kisaran US$12.000—US$14.000/ton nikel yang sejak Januari 2024.

Harga nikel yang relatif datar dan kenaikan harga bahan baku membuat margin smelter HPAL makin menyempit. Margin laba kotor untuk produk MHP mendekati US$10.000/ton pada 2023 sebelum turun menjadi sekitar US$7.000/ton pada 2024, menurut perkiraan Argus.

Kemarin, Presiden Prabowo Subianto baru saja meresmikan peletakan batu pertama pembangunan proyek EV garapan CATL dan IBC di Kawasan Artha Industrial Hills (AIH), Karawang, Jawa Barat.

Proyek tersebut memiliki nilai investasi US$6 miliar (sekitar Rp97,07 triliun asumsi kurs saat ini), serta diklaim dapat menyerap 8.000 tenaga kerja secara langsung.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan baterai kendaraan listrik CATL yang dihasilkan dari Proyek Dragon di Indonesia bisa digunakan untuk melistriki 250.000—300.000 EV.

Menurutnya, pabrik sel baterai CATL di Karawang, Jawa Barat yang baru diresmikan hari ini didesain untuk kapasitas produksi akhir sebesar 15 GW.

“Ini kalau dikonversi ke mobil, itu kurang lebih sekitar 250.000—300.000 mobil,” ujarnya di sela acara peletakan batu pertama ekosistem baterai terintegrasi konsorsium IBC, Antam, dan CBL di Karawang, kemarin.

Proyek ekosistem baterai CATL-IBC tersebut terdiri dari enam proyek, di mana lima di antaranya dikembangan di kawasan Halmahera Timur, Maluku Utara dan satu proyek dikembangkan di Karawang, Jawa Barat.

Proyek baterai EV itu dijalankan melalui perusahaan patungan CATL, Brunp, dan Lygend yaitu Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd (CBL). Kemudian Konsorsium CBL menggandeng IBC yang mewakili pemerintah Indonesia termasuk PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam, bekerja sama dalam proyek hilirisasi ini.

Proyek dijalankan melalui serangkaian pembentukan joint venture (JV) yang mencakup tiga tahap industri yaitu hulu (tambang), midstream (pengolahan), dan hilir (produksi dan daur ulang baterai).

(mfd/wdh)

No more pages