“Produksi manufaktur meningkat dan permintaan pasar membaik,” kata Zhao Qinghe, ahli statistik senior NBS dalam pernyataannya.
Angka PMI menjadi data resmi pertama tiap bulan yang memberikan gambaran kondisi ekonomi China. Data terbaru ini mencerminkan situasi penuh pertama setelah Beijing dan Washington sepakat melakukan gencatan senjata selama 90 hari dalam perang dagang mereka.
Permintaan luar negeri — yang menyumbang hampir 40% pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama — membantu mengimbangi lemahnya konsumsi domestik. Namun hal ini juga membuat China semakin bergantung pada stabilitas hubungan dengan mitra dagang seperti AS, yang baru saja menyelesaikan kerangka kesepakatan dagang yang dinegosiasikan di Jenewa.
Kesepakatan itu mengatur sejumlah poin penting hasil negosiasi antara AS dan China, termasuk komitmen Beijing untuk memasok logam tanah jarang yang digunakan pada turbin angin hingga pesawat jet.
Prospek kekuatan manufaktur China di sisa tahun ini masih dipenuhi tanda tanya, mengingat outlook ekspor yang tidak pasti dan kesepakatan dagang jangka panjang yang belum tercapai.
Sejumlah bank global, termasuk Bank of America Corp dan Citigroup Inc, baru-baru ini menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China tahun 2025 seiring membaiknya kepercayaan akibat gencatan senjata tarif. Meski demikian, para ekonom yang disurvei Bloomberg memperkirakan produk domestik bruto (PDB) China hanya akan tumbuh 4,5% tahun ini, jauh di bawah target resmi sekitar 5%.
Utusan dagang Presiden Donald Trump untuk China, David Perdue, baru-baru ini mengingatkan bahwa AS ingin merombak hubungan perdagangan dengan China dan dunia, dengan membawa kembali banyak rantai pasok strategis ke dalam negeri.
Perdue menilai para pemimpin AS sebelumnya telah “buta terhadap terkikisnya banyak industri strategis AS,” sebuah sinyal bahwa ketegangan dagang kedua negara masih bisa terus berlanjut.
(bbn)






























