JV yang dimaksud berada di bawah pengelolaan PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL), hasil kolaborasi antara Indonesia Battery Corporation (IBC), PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) atau Antam, dan CATL beserta afiliasinya.
Struktur kepemilikan di JV baterai tersebut saat ini menempatkan mitra asing sebagai pemegang 70% saham, sedangkan sisa 30% dikendalikan konsorsium BUMN yang terdiri dari Inalum, Antam, PLN, dan Pertamina (PPI) melalui IBC.
Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho menegaskan bahwa meski hanya memiliki porsi saham sebesar 30% di JV baterai, Indonesia tetap memiliki hak dalam manajemen, termasuk posisi direksi dan tenaga kerja.
“Kita memang minoritas, tetapi minoritas yang cukup signifikan. Kita tetap punya hak suara dalam pengelolaan,” ujarnya.
Kenaikan Kapasitas Produksi
Sementara itu, proyek industri baterai ini ditargetkan menghasilkan kapasitas terpasang hingga 30 GW dalam 3—5 tahun ke depan, berasal dari sejumlah fasilitas yang saat ini sedang dibangun maupun yang masih dalam tahap awal kerja sama, seperti dengan Huayou di Proyek Titan.
“Kalau dari dua proyek yang berjalan yang satu [Proyek Dragon] 15 GW, satu lagi [Proyek Titan] bisa 10 GW total kapasitas Indonesia bisa mendekati 30 GWh dalam lima tahun,” kata Toto.
Produksi baterai dari proyek ini akan disalurkan baik ke pasar domestik maupun ekspor. Beberapa negara telah menyatakan minat sebagai pembeli (offtaker), termasuk; Jepang, India, dan Amerika Serikat (AS). Porsi ekspor disebut mencapai sekitar 30% dari total produksi, meskipun bisa berubah mengikuti dinamika pasar.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan konsorsium CATL tidak keberatan untuk memberikan sebagian porsi sahamnya ke pemerintah di lini hilir proyek ekosistem baterai terintegrasi tersebut.
“Saya sudah bicara dengan mereka [perwakilan CBL] untuk menaikkan kepemilikan saham negara lain, dan mereka pada prinsipnya tidak masalah,” ujar Bahlil dalam peresmian Proyek Dragon di Karawang, Jawa Barat, Minggu (29/6/2025).
Untuk diketahui, IBC dimiliki oleh empat BUMN, yakni Antam, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT PLN (Persero), dan PT Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE), masing-masing dengan porsi kepemilikan sekitar 26%—27%, kecuali PLN yang memiliki 19,9%.
IBC menggandeng konsorsium CATL–CBL dalam serangkaian usaha patungan yang mencakup seluruh rantai pasok baterai kendaraan listrik, dari hulu hingga hilir.
Di sisi hulu, kolaborasi mencakup pengelolaan tambang nikel melalui PT Sumber Daya Arindo (SDA), di mana Antam menguasai 51% saham, serta proyek pengolahan RKEF dan kawasan industri lewat PT Feni Haltim dengan kepemilikan 40%.
Untuk fasilitas HPAL, Antam juga memegang 30% saham. Sementara itu, pada tahap midstream hingga hilir—termasuk pengolahan bahan baku, produksi sel baterai, hingga fasilitas daur ulang — IBC cenderung berada di posisi minoritas.
Perseroan memegang 30% saham untuk proyek perakitan dan bahan baku baterai, serta 40% pada proyek daur ulang.
(art/wdh)
































