“Ada beberapa offtaker langsung. Ada yang di Indonesia, ada juga untuk pasar ekspor. Namanya belum bisa keluar karena masih perjanjian dengan CATL,” kata Toto ditemui usai Groundbreaking Proyek Ekosistem Baterai Kendaraan Listrik di Karawang, Minggu (29/6/2025).
Toto menambahkan target ekspor sebesar 30% tersebut masih bersifat proyeksi awal dan bisa berubah, tergantung permintaan pasar serta kesiapan produksi dalam negeri. Adapun, kapasitas produksi baterai CATL di Indonesia mencapai total 15 gigawatt (GW) yang setara untuk mengaliri 250.000—300.000 mobil listrik.
Pada kesempatan terpisah sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memastikan proyek pabrik baterai kendaraan listrik CATL di Indonesia telah mengamankan beberapa vendor otomotif sebagai offtaker.
Yuliot menyebut hal tersebut dibahas perwakilan raksasa baterai China itu dalam pertemuan bersama Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pada Rabu (14/5/2025).
“CATL ini lanjut, jadi kita masuk dalam ekosistem penyediaan baterai kendaraan listrik, dan juga untuk CATL sendiri sudah memiliki offtaker. Jadi mereka mengharapkan itu nanti paling lambat Maret 2026 mereka sudah berproduksi di Indonesia,” ujar Yuliot ditemui di kantornya, medio bulan lalu.
Yuliot menerangkan terdapat dua mekanisme investasi di CATL, di mana raksasa baterai global tersebut harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah China.
Untuk investasi tahap pertama, CATL merencanakan pembangunan pabrik baterai berkapasitas 15 GE per tahun di Tanah Air. Akan tetapi, yang sudah mendapatkan persetujuan dari otoritas di Negeri Panda adalah sebesar 7,5 GW per tahun mulai 2026.
“Namun, mekanisme investasi yang mereka lakukan ini tidak saja berasal dari pendanaan [dari Pemerintah China], tetapi mereka juga mendapatkan pendanaan dari IPO [penawaran publik perdana], sehingga target kapasitas 15 GW itu bisa dilakukan,” terang Yuliot.
Saat ini, sambungnya, CATL telah menyampaikan perjanjian kerahasiaan atau non disclosure agreement (NDA) kepada Pemerintah Indonesia.
“Salah satunya, mereka juga sudah menyampaikan NDA, tetapi mereka sudah memiliki offtaker beberapa vendor kendaraan. Vendornya ada yang dari Eropa, ada yang dari Amerika [Serikat], tetapi itu mereka belum bisa menyampaikan ini offtaker-nya dari siapa,” tegas Yuliot.
Proyek Dragon digarap Konsorsium IBC, CATL melalui Contemporary Brunp Lygend Co Ltd (CBL), dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) atau Antam dengan nilai investasi sekitar US$5,9 miliar.
Perinciannya, sebanyak US$1,2 miliar dialokasikan untuk pabrik sel baterai di Karawang. Sementara itu, US$4,7 miliar dialokasikan untuk proyek hulu di tambang nikel, smelter RKEF dan HPAL, hingga pabrik prekursor dan katoda di Halmahera Timur, Maluku Utara.
Dengan kapasitas produksi 15 GW, pemerintah mengeklaim proyek tersebut digadang-gadang dapat menghemat impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia hingga 300.000 kiloliter (kl) per tahun.
Proyek Dragon juga masuk ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Secara keseluruhan, kawasan pengembangan mencakup 3.023 hektare lahan dan berpotensi menciptakan hingga 8.000 lapangan kerja langsung. Pembangunan juga meliputi infrastruktur pendukung seperti 18 dermaga multifungsi.
(wdh)
































