Logo Bloomberg Technoz

OJK diminta untuk memperketat pengawasan, karena "ini tidak bisa serta-merta hanya kesalahan dari perusahaan pindar, tapi disitu juga ada pasti kesalahan dan peran dari OJK dalam hal pengawasannya," terang dia. 

Komisioner OJK belum merespons saat dihubungi. Juru bicara OJK juga belum memberikan pernyataan hingga artikel ini dipublikasi.

Akhir pekan lalu gagal bayar Akseleran kembali mencuat usai unggahan konten influencer Felicia Putri Tjiasaka yang meminta maaf karena pernah membuat video rekomendasi investasi di Fintech P2P Lending.

Kolom komentar di akun Felicia beberapa menagihnya untuk bertanggungjawab atas dana lender yang gagal bayar. Ia membantah anggapan bahwa video Akselerannya tersebut endorsement berbayar. Semata itu hanya konten edukasi yang didasarkan pada pengalaman investasi pribadi, Felicia mengklarifikasi.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda sebelumnya menerangkan bahwa kasus gagal bayar di industri fintech p2p lending dapat mencederai kepercayaan lender hingga menurunkan minat investasi pindar.

Kepercayaan juga tertuju pada otoritas pengawas lembaga keuangan terkait, dalam hal ini OJK. Nailul menuturkan saat ini lender tengah menanti tindakan OJK ihwal dana yang telah dipinjamkan ke Akseleran, apakah bisa kembali atau hilang begitu saja. 

Ia menekankan bahwa kasus Akseleran merupakan preseden buruk bagi OJK. Sama seperti Izzudin, Huda berpendapat, akan luntur kepercayaan investor karena gagal bayar di era sebelumnya tidak menjadi pembelajaran bagi regulator, dan berbagai pihak terakhir termasuk pengelola platform fintech.

Namun, Direktur Riset Bidang Jasa Keuangan Ekonomi Digital dan Ekonomi Syariah dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Etika Karyani menyatakan, tingkat pengawasan dari OJK atas operasional fintech mumpuni. 

"OJK telah memperketat pengawasan, namun tantangan utama justru terletak pada penegakan terhadap pelaku ilegal dan literasi konsumen yang masih rendah," kata Etika saat dihubungi Selasa (24/6/2025).

Etika menyatakan bahwa lonjakan penggunaan layanan pinjaman online (pinjol) lebih dipicu oleh kebutuhan akan akses pembiayaan cepat dan tingginya penetrasi digital, bukan karena kelonggaran regulasi.

Etika juga menyoroti peran bank yang selama ini menjadi salah satu sumber dana utama dalam ekosistem fintech lending. Menurutnya, bank kini bersikap lebih selektif dalam memilih mitra fintech karena mempertimbangkan risiko reputasi dan kualitas kredit. "Alih-alih menarik diri total, bank mengadopsi pendekatan manajemen risiko yang lebih ketat sesuai arahan regulator," ujarnya.

Menanggapi polemik ini, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Entjik Djafar justru menegaskan bahwa regulasi OJK sudah cukup jelas dan tegas. Apalagi otoritas telah menerbitkan regulasi baru yang lebih memperketat pengawasan, POJK 40 [Layanan Pendanaan Bersama Teknologi Informasi], "sehingga kalau memang menyimpang dari situ ya, akan risikonya adalah kredit macet akan naik. Artinya risikonya berakibat kalau tidak mengikuti aturan dari OJK, maka berakibat kredit macet." 

Dari asosiasi juga turut berkontribusi dalam menumbuhkan industri fintech p2p lending dengan cara mendorong anggota perbaikan tata kelola, serta menjaga transparansi, serta segera melaporkan potensi risiko kepada lender secara terbuka.

Kasus gagal bayar Akseleran sejak pekan lalu kembali viral. Dalam dokumen kepada para lender, Akseleran mengonfirmasi telah melaporkan dua peminjam (borrower) ke polisi karena diduga melakukan penipuan hingga menyebabkan kerugian miliaran rupiah dana investor.

Dana lender Akseleran yang mengalami gagal bayar juga diketahui telah melalui skema refinancing berulang, di mana pinjaman baru digunakan untuk menutup pinjaman lama. Kebijakan refinancing ini diketahui disetujui oleh Direktur Utama Akseleran, namun akhirnya dihentikan oleh manajemen lain.

(wep)

No more pages