Logo Bloomberg Technoz

“Respons Iran dalam beberapa jam dan hari ke depan akan sangat menentukan—jika Iran membalas seperti ancaman sebelumnya, harga minyak bisa menuju US$100 per barel,” kata Saul Kavonic, analis energi di MST Marquee.

"Serangan ini berpotensi memperluas konflik, dengan Iran mungkin menyasar kepentingan AS di kawasan seperti infrastruktur minyak Teluk di Irak, atau mengganggu jalur pelayaran di Selat Hormuz."

Selat Hormuz merupakan jalur laut krusial yang dilewati ekspor minyak dari Iran, Arab Saudi, Irak, Kuwait, dan negara anggota OPEC lainnya.

Harga minyak berpotensi menuju rentang US$80 hingga US$90 per barel. (Bloomberg)

Arah kebijakan Trump terhadap Iran kini menjadi sorotan utama setelah AS secara terbuka mendukung serangan Israel. Pada pekan lalu, Trump sempat menyatakan akan menunda keputusan selama dua pekan.

Namun, pada Minggu dini hari waktu Iran, Trump mengumumkan bahwa Fordow, Natanz, dan Isfahan telah dihantam muatan bom dari jet-jet tempur AS.

Beberapa jam kemudian, dalam pidato kenegaraan, Trump mengklaim serangan tersebut “menghancurkan total” 3 fasilitas tersebut, dan mengancam aksi militer lanjutan jika Iran tidak segera berdamai dengan Israel.

“Pasar membutuhkan kepastian, dan ini menandakan AS kini benar-benar masuk ke medan konflik Timur Tengah,” ujar Joe DeLaura, mantan trader dan analis energi global di Rabobank.

Joe DeLaura menambahkan, harga minyak berpotensi menuju rentang US$80 hingga US$90 per barel, sementara Armada Laut AS mungkin akan ditugaskan menjaga Selat Hormuz tetap terbuka.

Meski begitu, hingga saat ini belum ada indikasi terganggunya aliran minyak dari kawasan tersebut.

“Jika AS memberi dukungan militer langsung ke Israel dan berupaya menggulingkan rezim Iran, pasar bisa langsung merespons dengan lonjakan harga,” ujar Tamas Varga, analis di PVM Oil Associates.

Namun, pihaknya menilai minyak tidak akan menjadi bagian dari konflik karena bukan kepentingan langsung kedua belah pihak.

Nasib pasar minyak penting karena memengaruhi harga bahan bakar dan inflasi—hal yang dijanjikan Trump akan dikendalikan selama kampanye. Dalam kondisi volatil tinggi, kelangkaan minyak bahkan bisa memicu resesi.

Sekitar 20% pasokan minyak global melewati Selat Hormuz setiap hari. Iran pun tampak mempercepat ekspor sebagai bentuk respons logistik terhadap konflik.

Jika konflik bisa dicegah meluas dan pasokan tetap aman, harga minyak berpotensi turun, bersama dengan lonjakan harga turunan lainnya. Namun, masuknya AS dalam konflik bisa mengguncang stabilitas jalur distribusi di kawasan.

Pada Jumat, Iran sempat mengisyaratkan kemungkinan perubahan dalam program pengayaan uraniumnya, yang sempat menekan harga futures dan mengingatkan pasar bahwa kebijakan nuklir Tehran juga berdampak besar bagi pasar energi.

Volatilitas juga mengguncang pasar derivatif. Para trader membayar premi tinggi untuk lindung nilai terhadap potensi lonjakan harga lebih lanjut. Sejak serangan dimulai, volume opsi beli (call options) melonjak ke level rekor sejak 2013.

Pembalikan Arah

Bahkan sebelum pengumuman Trump, pasar sudah dalam kondisi tidak stabil. Trader mulai keluar dari posisi futures dalam laju tercepat dalam sejarah—menunjukkan tekanan dari lonjakan volatilitas dan ketidakpastian arah pasar.

Jumlah kontrak futures di bursa utama turun setara dengan 367 juta barel, atau sekitar 7%, sejak 12 Juni, sehari sebelum serangan Israel. Volatilitas ini membuat negosiasi harga menjadi jauh lebih sulit.

“Pergerakan liar harga minyak saat ini mencerminkan upaya spekulan mengurangi risiko,” kata Ryan Fitzmaurice, analis senior komoditas di Marex Group Plc.

“Ke depan, volatilitas dan jumlah kontrak terbuka akan jadi indikator penting.”

Biaya pengapalan minyak dari Timur Tengah ke China melonjak hampir 90% sejak sebelum serangan Israel. Pendapatan kapal tanker yang membawa bensin dan avtur juga meningkat, seiring lonjakan premi asuransi.

Risiko bagi kapal makin nyata setelah dua tanker bertabrakan dan meledak. Meski pemilik kapal membantah keterkaitan dengan konflik, insiden ini menambah kekhawatiran. Hampir 1.000 kapal per hari kini mengalami gangguan sinyal GPS, meningkatkan risiko keselamatan pelayaran.

Biaya pengapalan minyak dari Timur Tengah ke China melonjak hampir 90% sejak sebelum serangan Israel. (Bloomberg)

MICA Center, lembaga kerja sama militer dan pelayaran komersial asal Prancis, menyebut insiden tabrakan kemungkinan diperparah oleh gangguan sinyal tersebut.

“Beberapa hari ke depan akan menjadi penentu apakah solusi diplomatik dengan Iran masih mungkin, atau AS akan melanjutkan opsi militer,” tulis MICA. “Perdagangan maritim belum menjadi target, tapi situasi bisa berubah drastis.”

Naiknya risiko pasokan dari Teluk, ditambah lonjakan biaya pengapalan, mendorong permintaan minyak dari luar kawasan tersebut.

Risiko Koreksi

Makin tinggi harga, makin besar potensi koreksi jika ada tanda-tanda deeskalasi.

Meski ketegangan tetap tinggi, ada preseden yang menunjukkan gangguan pasokan bisa segera pulih.

Pada 2019, serangan terhadap fasilitas pemrosesan minyak Abqaiq di Arab Saudi sempat memotong 7% pasokan global, namun pasar kembali stabil dalam hitungan minggu.

Inilah alasan mengapa harga minyak belum melonjak tajam belakangan ini, menurut para pelaku pasar—karena ancaman geopolitik sering kali tidak berubah menjadi gangguan pasokan riil.

“Ini yang paling besar,” kata John Kilduff, partner di Again Capital, memperkirakan premi risiko mencapai US$8 per barel.

“Respons pasar saat ini jelas mengarah ke atas. Seberapa tinggi akan sangat tergantung pada respons Iran—atau setidaknya potensi respons yang benar-benar bisa terjadi.”

(bbn)

No more pages