Misalnya, kata Ubaid, rata-rata daya tampung SMA negeri di berbagai provinsi hanya sekitar 30%. “Mestinya pemerintah fokus ke 70% anak yang tidak tertampung, daripada hiruk-pikuk ribut urus 30% saja? Bagaimana nasib 70% anak yang tidak tertampung ini?” tanya dia.
Masalah sistemik kedua, lanjut Ubaid, terkait penerapan jalur penerimaan murid. JPPI menilai Pasal 43 Permendikdasmen No. 3/2025 sangat membingungkan dan penuh ambigu soal jalur penerimaan tersebut.
Dalam pasal itu, beber Ubaid, calon murid yang mendaftar melalui jalur domisili tingkat SMA, penentuan penerimaan murid dilakukan dengan memprioritaskan kemampuan akademik. Keanehan serupa pun ditemukan pada jalur afirmasi dalam Pasal 44 Permendikdasmen No. 3/2025, yang memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat calon murid dengan satuan pendidikan untuk penentuan penerimaan muridnya
Lebih lanjut dia, dalam Pasal 43 Permendikdasmen No. 3/2025, sementara jalur domisili jenjang sekolah dasar (SD), penentuan penerimaan murid baru memprioritaskan usia. “Pusing bukan? Saya yang mengikuti tiap tahun saja pusing, apalagi orang tua,” keluh Ubaid.
Selain itu, dia mengatakan bahwa kebingungan ini makin diperparah dengan aturan di daerah seperti Jakarta dan Yogyakarta, di mana semua jalur penerimaan di jenjang SMA baik prestasi, afirmasi, domisili, dan mutasi tetap memiliki prioritas prestasi akademik. Hal ini tertuang di dalam Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Nomor 414 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Murid Baru dan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 131 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Murid Baru Sekolah Menengah Atas, Sekolah, Sekolah Menengah Kejuruan, Dan Sekolah Luar Biasa DIY Tahun 2025/2026.
“Ironi memang, meski jarak domisili anak dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin pula, tidak menjamin akan bisa melenggang lolos seleksi bila tidak berprestasi. Empat model jalur yang diharapkan mampu membuka akses sekolah secara lebar, justru banyak menemukan kebuntuan,” ungkap Ubaid.
Ketiga, ujar dia, terkait negara wajib membiayai pendidikan, bukan hanya memberikan bantuan. JPPI juga menyoroti ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU/-XXI/2024 soal tafsir Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terkait wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Menurut JPPI, SPMB tahun ini seharusnya mengatur skema pembiayaan penuh secara gratis bagi calon murid yang tidak lolos di sekolah negeri dan akhirnya masuk ke sekolah swasta.
Namun, kata Ubaid, dalam Pasal 51 Permendikdasmen No. 3/2025 tidak tegas untuk mewajibkan pemerintah daerah (pemda) membiayai anak-anak di sekolah swasta. Dalam pasal tersebut berbunyi “Pemerintah daerah dapat memberikan bantuan pendidikan kepada calon murid di satuan pendidikan swasta yang tidak dapat ditampung di satuan pendidikan negeri”.
Ubaid menilai bahwa hal ini menunjukkan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam melindungi hak anak atas pendidikan. “Kalau sekadar memberikan bantuan, periode lalu juga sudah, dan itu jelas dianggap inkonstitusional oleh MK, jadi harus dibiayai total kebutuhannya bukan sekadar bantuan parsial,” ujar dia.
“Berdasarkan UUD 1945 Ayat 2, kewajiban pemerintah adalah membiayai penuh, bukan hanya memberikan bantuan, sehingga amanat Pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas pada frasa ‘tanpa dipungut biaya’ dapat benar-benar ditunaikan,” jelas Ubaid.
(far/spt)































