Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju seperti AS, Eropa dan Jepang berada dalam tren menurun di tengah ditempuhnya kebijakan fiskal ekspansif dan pelonggaran kebijakan moneter di negara tersebut.
Ekonomi Tiongkok pun melambat akibat menurunnya ekspor terutama ke AS di tengah perlambatan permintaan domestiknya, sedangkan ekonomi India diprakirakan tumbuh baik terutama didorong oleh masih kuatnya investasi. Alhasil, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini kemungkinan hanya sebesar 3%.
Lanskap itu berpengaruh tak kecil pada prospek ekonomi domestik sehingga pertumbuhan perlu didorong lebih kuat termasuk dari sisi permintaan domestik. "Sumber pertumbuhan dari permintaan domestik melalui konsumsi rumah tangga dan investasi perlu makin ditingkatkan," kata Perry.
Dari sisi moneter, dorongan terhadap pertumbuhan dilakukan melalui penurunan suku bunga dan pelonggaran likuiditas seperti pemberian insentif makroprudensial agar kredit perbankan terus terpacu.
BI menilai pada separuh kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi domestik akan membaik hingga bisa melenggang di kisaran 4,6%-5,4%. "Berbagai respons kebijakan perlu terus diperkuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi baik dari sisi permintaan domestik maupun eksternal," kata Perry.
Dua Kali Lagi
Ekonom dan pelaku pasar melihat, keputusan 'tahan' BI Rate pada Juni ini sudah tepat karena situasi ketidakpastian yang masih tinggi terutama karena eskalasi konflik di Timur Tengah, juga kian dekat tenggat waktu berakhirnya jeda pemberlakuan tarif resiprokal AS pada awal Juli nanti.
"BI tidak bisa mengambil risiko mengesampingkan rupiah dengan langkah pelonggaran yang agresif. Rupiah sudah bertahan dari guncangan harga minyak dengan cukup baik sejauh ini, akan tetapi selera berisiko pemodal bisa mudah goyah terutama jika pengumuman tarif AS yang akan dirilis bulan depan, mengecewakan," komentar Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson, dalam catatannya.
Isyarat pemangkasan BI Rate ke depan yang dilontarkan oleh Gubernur Perry cukup kuat, dan bisa terjadi ketika rupiah tidak dalam posisi terancam di nilai yang sesuai fundamentalnya. "Kami perkirakan BI akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25-50 basis poin pada Semester II-2025," kata Henderson.
Kebutuhan akan pelonggaran moneter lebih banyak terutama karena situasi ekonomi domestik yang masih terbekap kelesuan.
Kinerja fiskal terakhir yang dilaporkan oleh Kementerian Keuangan mempertegas hal itu.
Penerimaan pajak yang dicatat oleh negara sampai Mei, tergerus 7,34% year-on-year sehingga kumulatif lima bulan tahun ini penerimaan pajak bersih terkontraksi hingga 10,15% yoy. Alhasil, penerimaan negara pun ambles 11,41% yang membuat pemerintah mengerem belanja.
Belanja pemerintah pusat pada Mei turun 36,62%, yang membawa total belanja pemerintah pusat dalam lima bulan tahun ini tergerus hingga 15,78%. Total belanja pemerintah tahun ini turun 11,26%.
Melihat kinerja fiskal terakhir, pemangkasan BI rate sebanyak dua kali diperkirakan terjadi pada sisa tahun ini, menurut analisis tim Mega Capital Sekuritas.
Analis juga memperkirakan BI akan memperlambat pembelian obligasi negara baik di pasar primer maupun sekunder. Sampai 17 Juni lalu, BI sudah menyentuh 82,89% dari total kuota burden sharing reinvestment mencapai nilai Rp124,3 triliun.
Sisa kuota belanja BI di SBN kini tersisa sebesar Rp25,67 triliun. "Kami memperkirakan BI membeli SPN [Surat Perbendaharaan Negara, SBN tenor pendek] sebesar Rp3 triliun hingga Rp5 triliun di pasar perdana. Sedangkan dari pasar sekunder, pembelian SUN oleh BI diperkirakan sebesar Rp20 triliun sampai Rp23 triliun bulan-bulan mendatang," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Market Strategist Mega Capital.
(rui/aji)





























