Kanselir Austria, Christian Stocker, menyebut peristiwa ini sebagai “hari yang kelam dalam sejarah negara kita.”
“Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan rasa sakit dan duka yang kita – seluruh rakyat Austria – rasakan saat ini,” ujarnya seperti diberitakan oleh Reuters.
Stocker juga menyatakan belasungkawa yang mendalam dan mengumumkan masa berkabung nasional selama tiga hari.
Franz Ruf menambahkan bahwa pelaku meninggalkan surat perpisahan, baik dalam bentuk fisik maupun digital, yang berisi salam perpisahan kepada orang tuanya, namun tidak mengungkapkan alasan dari tindakannya. Penyidik masih menyelidiki motif di balik serangan tersebut.
Lebih dari 300 polisi dikerahkan setelah suara tembakan terdengar sekitar pukul 10 pagi. Ambulans tiba beberapa menit kemudian, dan kawasan sekolah segera ditutup.
Surat kabar Salzburger Nachrichten melaporkan bahwa pelaku sempat menembaki dua ruang kelas, salah satunya adalah kelas tempat ia pernah belajar. Media juga mengungkapkan bahwa pelaku pernah menjadi korban perundungan saat masih sekolah.
Julia Ebner, pakar ekstremisme dari lembaga think tank Institute for Strategic Dialogue, menyebut insiden ini kemungkinan merupakan penembakan sekolah terburuk di Austria sejak Perang Dunia II.
Sejumlah pemimpin dunia, termasuk Kanselir Jerman Friedrich Merz, menyampaikan rasa terkejut dan simpati mereka atas tragedi tersebut.
Austria dikenal sebagai salah satu negara di Eropa dengan kepemilikan senjata api tertinggi di kalangan sipil—sekitar 30 senjata per 100 penduduk, menurut data Small Arms Survey.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2020, empat orang tewas dan 22 lainnya luka-luka dalam serangan oleh seorang jihadis terpidana di pusat kota Wina. Sebelumnya, pada November 1997, seorang montir berusia 36 tahun menewaskan enam orang di kota Mauterndorf sebelum bunuh diri.
(del)


































