Logo Bloomberg Technoz

Arief mengatakan setidaknya terdapat lima alasan yang mendalasi urgensi agar Indonesia melakukan revisi terhadap garis kemiskinan, di tengah langkah Bank Dunia yang baru-baru ini juga sudah mengadopsi standar penghitungan baru.

Pertama, jarak yang sangat dekat dengan garis kemiskinan ekstrem global. Dalam hal ini, garis kemiskinan ekstrem justru dipakai oleh negara-negara berpendapatan paling rendah. Padahal, perlu diketahui, Bank Dunia sudah mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah atas.

Kedua, standar hidup sudah berubah drastis sejak 1998, yang menjadi tahun terakhir metode garis kemiskinan direvisi. Ketiga, negara-negara setara sudah lebih maju, di mana Malaysia melakukan revisi garis kemiskinan sejak 2018 dan Vietnam sejak 2021.

Keempat, arah-arah kebijakan ekonomi yang berimplikasi pada kemiskinan bisa menjadi salah arah bila angka kemiskinannya tidak akurat. Kelima, legitimasi publik terhadap statistik kemiskinan bisa menurun jika tidak mencerminkan kenyataan hidup masyarakat dan membuat kepercayaan masyarakat kepada statistik dan akhirnya kepada pemerintah tergerus.

Menurut Arief, terdapat dua kekhawatiran utama dalam revisi metode perhitungan garis kemiskinan. Pertama, risiko politisasi jika angka kemiskinan mendadak melonjak. Padahal ini bisa diantisipasi dengan edukasi publik dan penerbitan paralel dua versi data sementara.

Kedua, kekhawatiran bahwa revisi garis kemiskinan akan membebani anggaran perlindungan sosial. Namun, Arief menilai, faktor kedua ini kurang beralasan, karena sebagian besar program bansos di Indonesia tidak menggunakan angka kemiskinan resmi sebagai basis langsung penentuan sasaran.

"Pemerintah memiliki sistem sasaran tersendiri seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional [DTSEN] yang mepertimbangkan berbagai faktor spesifik untuk masing-masing program juga mempertimbangkan alokasi anggaran," ujarnya. 

Bank Dunia melaporkan tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 68,25% dari populasi pada 2024, berdasarkan laporan terbaru per Juni 2025. Angka ini setara 194,58 juta jiwa penduduk miskin dari total populasi 285,1 juta pada 2024.

Angka itu mengalami peningkatan dibanding tingkat kemiskinan 2024 yang tercantum berdasarkan laporan Macro Poverty Outlook April 2025, yakni hanya 60,3% atau 171,9 juta penduduk miskin.

Tingkat kemiskinan yang naik di Indonesia terjadi seiring langkah Bank Dunia untuk mengubah garis kemiskinan, sebagaimana termaktub dalam June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform.

Dalam hal ini, Bank Dunia resmi mengadopsi perhitungan PPP 2021 untuk menghitung tingkat kemiskinan, yang diterbitkan oleh International Comparison Program pada Mei 2024. Perhitungan itu berubah dibandingkan dengan standar PPP 2017 yang digunakan Bank Dunia pada laporan April 2025.

Data resmi BPS melaporkan tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024.

Menyitir situs resminya, BPS mengatakan perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.

Bank Dunia memiliki 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara. Pertama, international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem. Kedua, negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income). Ketiga, negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).

Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam US$ PPP, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03.

BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun.

Pada 2024, Susenas dilaksanakan pada Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

(lav)

No more pages