Bagaimanapun, sejak awal tahun ini, sederet dinamika terus mewarnai operasional perusahaan China di industri hilir nikel Tanah Air seiring dengan berlanjutnya tekanan harga nikel.
Nikel diperdagangkan di harga US$15.438/ton hari ini di London Metal Exchange (LME), melemah 0,64% dari penutupan hari sebelumnya. Harga nikel—yang mencapai puncaknya di atas US$100.000 per ton pada 2022 selama periode short squeeze — mengalami tren penurunan sekitar 8% tahun ini.
Sepanjang 2024, harga menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.
Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terpelanting 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.
Beberapa perusahaan yang kabarnya menyita perhatian di tengah dinamika harga dan permintaan tersebut misalnya PT Gunbuster Nickel Industry (GNI)—anak usaha grup konglomerat China, Jiangsu Delong Nickel Industry Co — hingga PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS)—anak usaha produsen baja nirkarat terbesar di dunia, Tsingshan Holding Group Co.
Ada juga raksasa baterai nomor satu dunia Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) dan produsen nikel dan kobalt terbesar global Zhejiang Huayou Cobalt Co (Huayou).
Beragam manuver mewarnai perusahaan-perusahaan ini sejak awal 2025; mulai dari isu pergantian manajemen, gangguan dan penyetopan sementara produksi, hingga pengurangan atau downsizing investasi. Namun, ada pula yang masih getol menggelontor kapitalnya.
Ganti Manajemen
Pada awal Februari tahun ini, PT GNI dikabarkan mengalami gangguan produksi di Morowali Utara yang diduga merupakan efek domino dari krisis keuangan yang dialami induk usahanya, Jiangsu Delong di China.
PT GNI disebut telah menunda pembayaran pada pemasok sehingga tidak dapat memperoleh bijih nikel untuk diolah smelter-nya.
Smelter senilai US$3 miliar milik Gunbuster, yang mampu mengolah 1,8 juta ton bijih kasar nikel per tahun, juga disebut telah menghentikan operasi semua kecuali beberapa dari lebih dari 20 jalur produksinya sejak awal tahun ini. Salah satu alasannya dikabarkan akibat tekanan harga nikel dunia yang mengurangi margin bisnis smelter.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Setia Diarta membenarkan PT GNI memang telah melakukan pengurangan produksi menjadi 30%—40% dari kapasitas terpasang smelter mereka, atau dari 25 lini produksi menjadi hanya 12 lini yang terpakai.
Hal itu berlangsung sejak awal tahun ini, menyusul serah terima pergantian manajemen perusahaan yang terjadi pada 18 Januari 2025. Setia menyebut aktivitas produksi PT GNI normal kembali pada April 2025.
Setia menjelaskan pergantian manajemen pada PT GNI pada awal tahun ini turut memengaruhi kebijakan pemilihan pemasok bijih nikel untuk smelter milik perseroan.
Manajemen yang baru, lanjutnya, memiliki preferensi yang berbeda dengan manajemen yang lama terkait dengan spesifikasi bijih nikel untuk diolah di smelter PT GNI.
Perbedaan tersebut yang pada akhirnya membuat perusahaan mengalami disrupsi di lini produksinya, bukan karena adanya gangguan keuangan yang membuat perseroan menunda pembayaran bijih nikel ke pemasok.
Setia menyebut PT GNI akan segera mendapatkan sumber pendanaan atau investor baru, di luar induk usahanya dari China, Jiangsu Delong, yang ditargetkan rampung pada Juli 2025.
“Nanti investor baru itu insyallah jadi. Bukan investor, tetapi ini pendanaan. Akan ada pendanaan baru [di PT GNI] pada Juli 2025,” ungakpnya kepada Bloomberg Technoz, Rabu (5/3/2025), tanpa mengelaborasi peruntukan pendanaan yang dimaksud.
Tak hanya PT GNI, Jiangsu Delong juga menjadi investor di balik proyek hilirisasi nikel di Indonesia yang dikelola PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Konawe dan Sulawesi Tenggara.
Kemenko Perekonomian melaporkan OSS, VDNI, dan GNI secara kumulatif telah menggelontorkan investasi senilai US$8 miliar, dengan penyerapan tenaga kerja lebih kurang 27.000 orang.
Dalam sebuah pernyataan tertulis, manajemen PT GNI pada akhir Februari mengatakan perusahaan memang sedang menghadapi masa transisi.
"Kami memohon maaf atas segala ketidaknyamanan yang mungkin terjadi selama proses transisi ini," papar manajemen PT GNI dalam siaran pers, Selasa (25/2/2025).
Manajemen menegaskan operasional perusahaan tetap berjalan seperti biasa selama perubahan manajemen operasional yang sedang berlangsung di tengah beberapa isu yang berkembang.
Pemangkasan Produksi
Berbeda cerita, Tsingshan Holding Group Co—induk dari PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) — dirumorkan menghentikan sementara sejumlah lini produksi baja nirkaratnya di Indonesia sejak awal Mei tahun ini.
Per Bloomberg, manuver itu dilakukan untuk menopang harga nikel dan baja nirkarat di tengah koreksi permintaan dan ketidakpastian perdagangan global selepas perang tarif Amerika Serikat (AS)-China.
Tsingshan, yang juga produsen nikel terbesar di dunia, menghentikan sebagian produksi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah.
Informasi itu disampaikan sumber yang mengetahui situasi tersebut kepada Bloomberg, tetapi enggan disebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara ke publik.
Adapun, lini produksi yang dihentikan kini masuk masa perawatan (maintenance), tanpa kejelasan kapan akan kembali beroperasi. Akibatnya, salah satu pabrik peleburan di kawasan tersebut juga ikut berhenti beroperasi.
Direktur Jenderal ILMATE Kementerian Perindustrian Setia Diarta mengatakan kementeriannya telah meminta penjelasan dari Tsingshan terkait dengan kabar tersebut.
“Saya lagi nanya ke mereka. Nanti saya kabari lagi,” kata Setia saat dimintai konfirmasi, ditemui di sela agenda Human Capital Summit 2025, Selasa (3/6/2025).
“Kondisinya ini biasanya kami dapat [informasinya] case by case. Kalau seperti Tsingshan, kami harus konfirmasi dan kami analisis dahulu, baru kami bisa kasih statement.”
Menurut Setia, hingga saat ini pihak Tsingshan belum memberikan pernyataan atau keterangan apapun kepada Kemenperin terkait dengan kabar penyetopan sementara sebagian lini produksinya di IMIP.
Namun, dia memastikan Kemenperin akan mempelajari dugaan penyetopan produksi tersebut lebih dalam, serta hal-hal apa yang menjadi pemicu keputusan raksasa nikel asal China tersebut.
Setia memastikan hingga saat ini Kemenperin belum menerima laporan apapun dari perusahaan-perusahaan smelter, khususnya dari China, yang mengantongi izin usaha industri (IUI) terkait dengan adanya isu gangguan produksi akibat tekanan harga nikel.
“Belum ada report,” katanya.
Perwakilan IMIP tidak memberikan komentar saat dimintai konfirmasi oleh Bloomberg Technoz.
Menurut data Macquarie Group Ltd, Tsingshan menyumbang hampir sepertiga dari total produksi baja nirkarat global pada 2024. Investasi Tsingshan di Morowali memang dirancang untuk memanfaatkan posisi strategis Indonesia sebagai penguasa pasar nikel dunia.
Dalam catatan Macquarie pada April, China dan Indonesia menyumbang 71% dari total produksi baja nirkarat dunia.
Downsize Investasi
Selain dinamika di smelter, investor China juga memberi warna dalam geliat hilirisasi nikel ke lini baterai EV.
Dalam kaitan itu, raksasa baterai terbesar dunia asal China, Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL), berencana mengurangi (downsize) nilai investasinya untuk proyek ekosistem baterai kendaraan listrik di Proyek Dragon yang digarap bersama konsorsium Indonesia Battery Corporation (IBC).
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan mengatakan keputusan untuk mengurangi investasi di proyek baterai bukan keputusan final.
Akan tetapi, CATL tengah menelaah kondisi permintaan global hingga pangsa pasar baterai berbasis nikel yang akan dikembangkan di Indonesia.
“Enggak bisa juga kalau kita bilang bahwa, 'Oh ini permintaan atas kendaraan listrik'. Justru baterai kendaraan listrik itu sedang turun. Terus kita memaksakan [CATL] tetap [investasi], 'Oh Anda harus tetap investasi sebesar itu.' Itu enggak mungkin match dengan feasibility study-nya,” kata Nurul saat ditemui, Rabu (28/5/2025).
Nurul menjelaskan saat ini CATL telah menyetujui Outward Direct Investment (ODI). Dalam hal ini, Pemerintah China disebut telah mengevaluasi agar proyek investasi baterai yang diusulkan CATL tetap direalisasikan.
“Karena melihat bahwa memang demand secara global itu shrinking [menyusut], sehingga skalanya juga dikecilkan, sehingga kapasitas yang mau diproduksinya juga relatif lebih dikecilkan,” ujarnya.
Indonesia saat ini juga tengah menggarap proyek ekosistem baterai EV dengan raksasa baterai China, CATL, di Proyek Dragon bersama konsorsium IBC.
Proyek baterai IBC bersama CATL tersebut bernilai investasi US$6 miliar yang terintegrasi hulu—hilir, mulai dari lini pertambangan, smelter hidrometalurgi atau high pressure acid leach (HPAL), pabrik prekursor, katoda, sel baterai, hingga daur ulang baterai.
Pemerintah mengeklaim Proyek Dragon merupakan proyek ekosistem baterai terintegrasi pertama di dunia yang sudah digagas sejak 2022.
Investasi CATL di Proyek Dragon dilakukan lewat Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co Ltd (CBL), usaha patungan bersama dengan Brunp dan Lygend. Dua perusahaan yang disebut terakhir punya keahlian pada pembuatan bahan baku baterai setrum.
Sementara itu, IBC menjadi perwakilan dari sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang mengambil bagian pada rencana investasi konsorsium CBL tersebut.
Makin Ekspansif
Selain dengan CATL, proyek hilirisasi nikel ke lini baterai juga digarap oleh Zhejiang Huayou Cobalt Co (Huayou) di Proyek Dragon bersama IBC. Huayou adalah salah satu raksasa smelter nikel dan kobalt terbesar di dunia.
Berbeda dengan CATL, Huayou justru makin ekspansif berinvestasi hilirisasi nikel di Indonesia.
Huayou baru-baru ini mengambil alih peran LG Energy Solution Ltd (LGES) yang diputus kontraknya oleh pemerintah awal tahun ini, menyusul negosiasi berkepanjangan yang menyebabkan Proyek Titan tidak kunjung berprogres.
Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani membeberkan realisasi investasi Huayou di Indonesia telah mencapai US$9 miliar (sekitar Rp146,56 triliun asumsi kurs saat ini) per 2024.
Rosan mengatakan raksasa smelter China itu juga berkomitmen untuk menambah investasi di rantai pasok bahan baku baterai setelah mengambilalih peran LGES di proyek ekosistem baterai, yang digarap bersama IBC.
“Saya baru ketemu dengan chairman-nya, Huayou investasi sudah mencapai US$9 miliar yang sudah masuk,” kata Rosan di Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Nantinya, Rosan menambahkan, Huayou bakal menambah investasi baru sekitar US$8,3 miliar (sekitar Rp135,15 triliun) bersama dengan mitra barunya dari China.
Komitmen investasi itu, kata dia, menjadi bentuk keseriusan Huayou untuk menggarap proyek ekosistem baterai listrik di Indonesia.
“Dia akan bareng juga dengan perusahaan China, nanti dibagi dua jadi sekitar US$4,4 miliar yang investasi baru [dari Huayou],” tuturnya.
Direktur ESG dan Sustainability Huayou Bryce Lee membenarkan sebagian besar portofolio investasi langsung asingnya dialokasikan untuk Indonesia alih-alih negara lain.
Selain karena kebijakan dalam negeri yang mempermudah produksi katoda, Huayou menyebut Indonesia juga merupakan negara produsen terbesar nikel.
“Sekarang kami mencoba bekerja dengan kebijakan nasional Indonesia untuk memiliki lebih banyak nilai tambah di sini,” kata Lee di sela kegiatan ESG Forum 2025, Senin (2/6/2025).
Dia menambahkan Indonesia juga menjadi negara tujuan utama Huayou untuk mengembangkan industri katoda berbasis nikel.
Sebelumnya, padahal, Huayou juga telah melirik beberapa negara penghasil nikel lainnya seperti; Jerman, Kuba, Rusia, dan Filipina. Akan tetapi, Lee menyebut Indonesia dinilai paling baik sebagai tujuan investasi bagi Huayou.
"Kami adalah perusahaan baru, pada 2018 kami memulai di Indonesia. Untuk katoda, hampir semuanya [investasi] di Indonesia," ucapnya.
Untuk diketahui, aktivitas manufaktur hingga perdagangan di China merosot ke level terlemah sejak September 2022, menurut survei swasta terbaru. Banyak perusahaan di sektor mineral penting dan derivatifnya pada akhirnya memutuskan untuk menahan ekspansi atau menunda investasi di tengah prospek harga dan permintaan yang lesu.
Arus perdagangan yang membaik belum mampu menopang ekonomi yang masih tertekan oleh lemahnya permintaan domestik. Di sisi lain, aktivitas perdagangan China juga mengalami tekanan dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
-- Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)

































